Oleh : Saras Dewi
Pada tahun 1999, setahun paska reformasi bergulir, saya berkesempatan
berkunjung ke Jalan Irian Menteng bersama kolega/teman-teman pergerakan.
Disanalah saya pertama kali bertemu dengan Gus Dur. Saya masih 16
tahun, tapi Ayah saya sudah memberitahu saya sebelumnya bahwa orang yang
duduk bersama saya adalah orang yang sangat penting bagi bangsa
Indonesia. Sedari muda saya sudah paham, mengapa Gus Dur sangat berarti bagi perubahan di Indonesia.
Pertemuan dengan Gus Dur malam itu merubah hidup saya. Karena beliau
saya percaya bahwa Indonesia punya kesempatan untuk menjadi bangsa maju,
menjadi bangsa yang kaya akan kultur, budaya, agama dan dapat saling
hidup berdampingan. Semasa beliau menjabat menjadi presiden menurut saya
hanya kebaikan yang secara maksimal ia berikan, banyak orang mencibir
administrasi beliau, tapi untuk saya dialah Presiden yg tepat semasa
itu. Ia mengesahkan rekognisi terhadap agama Konghucu, beliaulah yang
berani menyatakan bahwa etnis TiongHoa kini dapat berbangga diri menjadi
bagian bangsa Indonesia ketika perayaan Imlek dijadikan hari libur
nasional. Ia memecat Jend. TNI Wiranto yang memiliki dakwaan pelanggar
HAM dari International Human Rights Tribunal. Ia mencabut
tentara-tentara dari daerah operasi militer seperti di Aceh dan Irian.
Beliau membuka dialog dengan Irian Jaya dan dengan diplomatik mengatakan
bahwa mereka bebas menggunakan term 'Papua'.
Gus Dur adalah
seorang pemberontak yang humoris, ketika musuh-musuh politiknya
memperolok dan mengancamnya, dengan gaya yang berkelas ia hanya
mengatakan, "Gitu aja kok repot?"
Gus Dur bukanlah semata-mata
seorang tokoh masyarakat yang bijaksana, tapi beliau juga seorang Ayah
dan Suami yang sempurna. Saya tahu ini, karena saya menyaksikan
bagaimana ia mendidik anak-anaknya. Salah satu putrinya, Inayah Wahid
adalah sahabat saya, kami kerap bekerja sama dalam organisasi 'Gerakan
Positif' untuk menumbuhkembangkan pluralisme di Indonesia. Saya merasa
sangat bersyukur dapat terlibat di dalam kegiatan Wahid Institute, para
aktivis Muslim ini memberikan saya harapan, bahwa perdamaian bukanlah
konsep belaka, tetapi suatu proses, bila kita berkemauan keras dan tegar
dalam mewujudkannya.
Dalam acara ulang tahun Ibu Shinta
Nuriyah, istri dari Gus Dur, saya diminta untuk memimpin doa mewakili
umat Hindu. Dengan bahagia saya menerima undangan tersebut, saya
membacakan Gayatri Mantram dan mendoakan kesehatan dan kebahagiaan Ibu
Shinta. Ibu Shinta memuji doa umat Hindu dengan mengatakan bahwa bahasa
sansekerta sedemikian indahnya. Saya terharu, karena Gus Dur dan Ibu
Shinta begitu menghargai komunikasi antar agama, ini menjadi penyemangat
saya.
Ketika FPI mengancam membakar gereja dan melakukan
pemberontakan sipil, Gus Dur-lah beserta pemuda NU yang menjaga
gereja-gereja tersebut, beliaulah yang berani berkata benar dan
bertindak melawan yang dzalim. Saya merasa kehilangan sekali, tetapi
saya teringat di dalam kitab suci Veda, meski sekarang saya patah
semangat dan menangis, saya teringat Veda yg mengatakan bahwa meski
seorang murid berduka atas kematian gurunya, hal yang lebih penting
untuk dilakukan adalah meneruskan perjuangan sang guru.
Saya berharap sekali segenap rakyat Indonesia dapat meresapi ajaran Gus Dur dan meneruskan cita-citanya.
"Wa 'Udkhila Al-Ladhīna 'Āmanū Wa `Amilū Aş-Şāliĥāti Jannātin Tajrī Min
Taĥtihā Al-'Anhāru Khālidīna Fīhā Bi'idhni Rabbihim Taĥīyatuhum Fīhā
Salāmun"
I Love You Full Gus,
yys.
Sumber : facebook
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.