Yang namanya ada motor dan mobil pastinya ada tempat parkir, entah dikelola secara tradisional ataupun moderen, dan jangan salah seorang pengelola parkir bisa hidup dengan serba berkecukupan. Itu indikator kalau parkiran adalah bisnis yang subur di Kupang.
Bayangkan saja, kita misalnya beli roti di toko roti, namun karena roti yang kita cari tak ada, maka kita cuma setengah menit di dalam toko itu. Si tukang parkir langsung minta duit, bukannya membantu motor agar motor kita bisa keluar malah tukang parkir lari ke pelanggan lain. Sedangkan kita, tidak dianggap, sudah terima uang, ya sudah, walaupun tak semua tukang parkir seperti itu.
Sinta Makandolu, misalnya. Warga Oebufu itu saat ditemui TIMORense di salah satu lokasi parkir di bilangan Jalan Sudirman Kuanino Kupang mempertanyakan, apa sih gunanya tukang parkir? Tentunya untuk menertibkan pengguna kendaraan yang memarkirkan kendaraan. Sesuai kesaksian TIMORense di beberapa titik tempat parkir, tak ada pembatas antara parkir motor dan mobil, sehingga nampak kendaraan parkir tak beraturan. Hal inilah yang terkadang membuat pengguna kendaraan geram. Pasalnya, sepeda motor yang dibeli dengan keringat darah, disayang tiap hari dielus elus dan dimandikan, tapi didorong tukang parkir dengan seenak hati. Bahkan beberapa kali kejadian sepeda motornya lecet gara-gara keteledoran sang tukang parkir.
Belum lagi, kata Sinta, kalau kita memarkirkan sepeda motor pasti standart sampingnya jadi korban. Bagaimana tidak? Sepeda motor yang lagi diparkir dipakai buat duduk tukang parkir saat standart samping diposisikan. Yang lebih parah, memakai standart samping untuk menahan beban sepeda motor yang hendak dipindah.
Keluhan yang lain juga disampaikan Mery Tunliu, Warga Oepura. Ia mengeluhkan kebiasaan tukang parkir yang merokok saat bekerja. Ia mengaku tidak anti terhadap kebiasaan merokok orang lain, namun menurutnya alangkah lebih baik jangan sambil kerja. Karena ia mengaku seringkali abu rokok dan label rokok pasti tempel di bagian-bagian sepeda motor.
Ia juga mengaku pernah ada pengalaman buruk. Waktu parkir mobil, si tukang parkir cuma bilang terus…terus . . .sampai-sampai mobilnya menabrak tiang listrik, hasilnya bumper belakang penyok. Parahnya, tak ada permintaan maaf atau tak ada menyesal dari si tukang parkir, malah minta uang pula. Karena itu dia menolak membayar retribusi parkir karena tak ada tanggungjawab juru parkirnya
Aneh juga, kalo tukang parkir cuma asal taruh, geser, dan bahkan merusak kendaraan kita, entah semau mereka ataupun tidak becusnya menjaga kendaraan yang dititipkan. Mereka terkesan lepas tangan bila terjadi sesuatu pada kendaraan kita atau menyalahkan kita.
Menanggapi keluhan pengguna parkir tersebut, Frengky Tualaka, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir di salah satu toko di Jalan Soeharto, kepada TIMORense mengatakan, jika ada pengunjung yang kehilangan sepeda motor atau helm maka itu menjadi tanggungjawab pribadi bukan menjadi tanggungjawab pengelola parkir. Karena itu, ia berharap para pengguna parkir juga harus lebih berhati-hati dalam memarkir kendaraan miliknya.
Menurut pria asli Soe ini, banyak kali pengguna kendaraan yang memarkir sepeda motornya dengan mengunci stirnya, sehingga untuk menggeser atau memindahkan sepeda motor itu dia harus menggunakan standar samping untuk menahan beban kendaraan tersebut.
Tanggapan senada juga disampaikan salah satu tukang parkir di Toko Bali Shoes Kupang. “Jika ada pengunjung yang kehilangan sepeda motor atau helm maka itu bukan tanggungjawab pengelola parkir dan dinas perhubungan”, katanya,
Pendapatan Tinggi, Pelayanan Rendah
Buruknya penanganan parkir di Kota Kupang mendapat sorotan masyarakat. Pasalnya, dari 60 titik parkir kendaraan yang ada di Kota Kupang, pendapatan asli daerah (PAD) yang dihasilkan dinilai relatif besar tetapi tidak sebanding dengan pelayanan yang memadai.
Maria Kase, warga Kelurahan Oepoi, ini mengaku sangat kecewa dengan penanganan parkir tersebut. Dirinya menilai dinas terkait yang menangani soal itu lemah dalam mengawasi kinerja bawahannya
“Coba hitung, ada berapa kendaraan yang parkir. Diperkirakan jutaan uang parkir yang masuk setiap harinya. Tapi tidak diimbangi dengan pelayanan yang memadai. Banyak pengguna parkir kehilangan kendaraan dan helm di tempat parkir,” ujar Maria.
Bahkan menurutnya, banyak tempat parkir tanpa ada karcis resmi, sehingga bisa saja terjadi penyelewengan dana retribusi parkir yang dipungut. Penyelewengan sangat terbuka lebar. “Hampir tidak ada parkiran yang pakai karcis resmi. Yang digunakan hanya nomor buatan mereka. Saya minta Dishub tegas dan tanggap dengan kondisi ini,” ujar ibu dua orang anak ini.
Dia juga sangat menyayangkan sistem pengelolaan parkir yang terjadi di Kota Kupang yang lebih terkesan sebagai pungutan liar (pongli). Sebab, kebanyakan tidak ada karcis di petugas parkir. “Retribusi harus memiliki kejelasan dengan karcis tersebut untuk diketahui berapa yang didapatkan untuk masuk ke PAD, karena hanya tergantung yang disetorkan petugas saja”, tandas Maria.
Parkir Tanpa Tanggungjawab?
Apa hakekat dari retribusi parkir? Apakah pengelola hanya menyewakan lahan parkir, atau sekedar menarik retribusi parkir, atau menjual jasa pengawasan parkir?
Desas-desus yang beredar menyebutkan, dalam satu klausul di kontrak kerja antara pihak Dinas Perhubungan dengan pihak ketiga sebagai pengelola parkir diatur bahwa petugas tidak bertanggungjawab terhadap semua bentuk kehilangan atau kerusakana di tempat parkir. Tentunya hal ini sangat meresahkan para pengguna parkir saat hendak meninggalkan kendaraannya di lahan parkir. Sebab, pengguna area parkir merasa tidak aman kalau-kalau kendaraannya yang diparkir hilang.
Terhadap persoalan ini, Dedy Manafe, dosen hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang kepada TIMORense mengatakan, sangat aneh kalau ada dalam kontrak kerja dengan pihak pengelola parkir diatur seperti itu. Menurutnya, lebih tepatnya kita bisa menyebut telah terjadi sesat logika dalam pengelolaan parkir. Pertama, tentang hakekat parkir. Apakah pengelola menyewakan lahan parkir, atau sekedar menarik retribusi parkir, atau menjual jasa pengawasan parkir? Mengapa mereka mengingkari tanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang di tempat yang berada dalam kekuasaan dan pengawasannya?
Sebab, dalam praktik selama ini, pengelola parkir hanya memposisikan diri sebagai penarik retribusi parkir, bukan menjual jasa pengawasan, apalagi penitipan kendaraan. Lalu, kepada siapa kita mempercayakan kendaraan kita? Apalagi ketika petugas parkir meminta kita agar stang sepeda motor tidak dikunci, dengan dalih biar mudah ditata. Kalau hilang, gimana? Pengguna parkir diposisikan wajib membayar retribusi, dan sebagai kompensasinya diberi hak menggunakan lahan parkir. Tapi ya hanya itu. Tidak termasuk hak keamanan, keselamatan, dan kenyamanan.
Kedua, menyangkut akuntabilitas pengelolaan parkir. Apabila pengelola parkir mengingkari tanggungjawab keamanan dan keselamatan kendaraan di lahan parkir yang mereka kelola, lalu kepada siapa kita mempercayakan kendaraan kita? Sudahkah parkir diselenggarakan dengan azas kehati-hatian, kepedulian, dan keselamatan.
Ia menjelaskan, sungguh tidak masuk akal apabila pengelola parkir mengingkari tanggungjawab . Di pertokoan atau kantor, misalnya, kita harus meninggalkan kendaraan di tempat parkir, tanpa rasa aman. Kalau helm bisa dibawa masuk (kalau boleh), lalu kendaraan? Bukankah penghasilan dari ‘retribusi’ parkir terlalu besar untuk pekerjaan yang tidak diimbangi tanggungjawab?
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara tegas sudah mengatur bahwa konsumen berhak atas keamanan dan keselamatan atas jasa yang dikonsumsinya. Pesan eksoneratif (mengingkari tanggungjawab) seperti itu jelas melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf (a). Pesan eksoneratif itu juga tidak selaras dengan logika sahnya kontrak. Karcis adalah bukti kontrak parkir. Kontrak baru sah apabila ada kesepakatan, kesepahaman, dan kerelaan. Karena ditetapkan sepihak, tentu saja tanpa kerelaan dan kesepakatan dari konsumen pengguna parkir. Lebih buruk lagi, pesan eksoneratif itu ditulis dengan huruf kecil-kecil, warna tidak kontras, dan menggunakan istilah-istilah asing. Artinya konsumen kadang tidak mengetahui (dan sehingga tidak rela) dengan isi ‘kontrak’ di karcis parkir tersebut.
Rasa-rasanya kegalauan ini juga akan sulit terjawab. Jangankan yang masih berupa kekawatiran, yang pernah kehilangan pun tak pernah mendapatkan solusi. Selalu saja pengelola parkir berlindung di balik klausul kontrak kerja tadi.
Tumpang Tindih
Penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kota Kupang Nomor 14/2011 tentang Retribusi Tempat Parkir Khusus dan Perda Kota Kupang Nomor 15/2011 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum berjalan tumpang tindih. Sesuai dengan Perda No. 15/2011, berlaku tarif Rp 1.000 untuk sepeda motor, dan Rp 2.000 untuk kendaraan roda empat. Sementara, berdasarkan Perda Nomor 14/tahun 2011 tentang retribusi parkir khusus, berlaku Rp 2.000 untuk sepeda motor dan Rp 3.000 dan seterusnya untuk roda empat.
Yang terjadi adalah di sejumlah titik tempat parkir di jalan umum para petugas parkir manarik retribusi dengan tarif yang berlaku untuk tempat parkir khusus.
Terhadap masalah ini Dedy Manafe mengatakan, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan di lapangan, baik pengawasan teknis maupun sebagai SKPD penanggungjawab. Di sini pemerintah melalu dinas perhubungan perlu melakukan pengawasan pelaksanaan operasional terhadap pelaksanaan Perda Retribusi tersebut dan mesti dilakukan secara berkala dan terus-menerus.
Selain itu, untuk menghindari terjadinya pungli di lapangan perlu dilakukan pegawasan fungsional yang dilakukan secara berjenjang oleh dinas perhubungan. Sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan bisa dieleminir.
Dedy juga menambahkan perlu adanya pengawasan dari masyarakat. Namun menurutnya pegawasan dari masyarkat bisa berjalan apabila ada mekanisme pengaduan layanan. Menurutnya, dengan adanya mekanisme pengaduan masyarakat yang diatur dalam peraturan walikota maka dapat mengoptimalkan standar pelayanan publik.
Menurut dia, retribusi parkir merupakan salah satu sektor penting mendongrak pendapatan asli daerah (PAD). Eksekutif dan legislatif sudah berupaya menggenjotnya melalui parkir berlangganan. Meski sudah ada peningkatan, namum belum maksimal. Untuk itu, wajib dimaksilkan dari lokasi keramaian yang non parkir berlangganan. (*)
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.