Kekerasan Seksual pada anak

Istilah pacaran sungguh sangat tidak asing di masa sekarang ini. Bahkan anak usia SD pun sudah nampak sangat fasih bicara soal pacaran. Mungkin ini akibat maraknya lagu menyebutkan kata cinta, pacar, sayang, dan lain sebagainya

Surat Untuk Nona Rambut Tabongkar 2

Teruntuk beta pung Nona rambut tabongkar tersayang... Apa kabar, sayang? Entah ini hari yang ke berapa katong su sonde saling bertegur sapa. Ya. Bukan waktu yang lama memang, tapi su cukup untuk membuat beta merindukan senyum dan sapaan hangat dari nona.

Kamu pasti tau kenapa ini tercipta....

SEPI bukan berarti HILANG... DIAM bukan berarti LUPA... JAUH bukan berarti PUTUS... SENDIRI bukan berarti MATI... Yang pasti saat MATI, tentu SENDIRI....

Pada Suatu Hari....

Pasti akan ada satu hari. Di mana kamarku mendadak senyap. Tanpa celotehan dan suara nada dering ponsel, serta tak ada lagi suara dari putaran kipas angin laptop.

Belajar dari Lentera Alam Learning Community for Women and Children

Kemarin perempuan muda, cantik dan bersahaja itu berkata pada saya, "tak harus mengeluarkan banyak uang untuk bisa membahagiakan dan menyenangkan anak-anak

Rabu, 29 Desember 2010

Tahukah Anda, bahwa Lagu Kulihat Ibu Pertiwi itu Karya Jiplakan?

Kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati, air matamu berlinang mas intanmu terkenang, hutan gunung sawah lautan simpanan kekayaan, kini ibu sedang susah merintih dan berdoa,
Siapa pencipta lagu yang berjudul Ibu Pertiwi ini? Pasti jawabannya tidak tahu. Tahukah Anda pula, kalau lagu ini karya jiplakan? Perbuatan yang memalukan bangsa kita karya plagiat ini justru diterima sebagai LAGU NASIONAL dan diajarkan secara resmi di sekolah sejak SD sampe mahasiswa.
Lagu ini (nada, irama, birama, notasi, dll kecuali liriknya) sama persis dengan lagu gerejawi yang dua kali diterjemahkan dari karya Charles Crozart Converse (1868), komposer Amerika Serikat (1832-1918). Lirik berjudul 'What a friend we have in Jesus', karya Joseph Medlicott Scriven (1855).
Terjemahan bahasa Indonesianya pertama kali dilakukan oleh C.Ch.J, Schreuder dan L.J.M. Tupamahu (awal 1900-an?) dan masuk dalam Nyanyian Dua Sahabat Lama (Nomor 201). Lalu diterjemahkan lagi oleh Yayasan Musik Gereja tahun 1975, dan menjadi lagu gereja di Indonesia dalam buku Kidung Jemaat (Nomor 453).
Siapa sih pencipta (baca: plagiator) lagu yang kemudian menjadi lagu nasional Indonesia ini? Abdullah Kamsidi (http://komponiskamsidi.multiply.com/journal/item/1/Sejarah_musik_kota_Solo) menulis bahwa pencipta lagu Ibu Pertiwi adalah komponis asal Solo, Kamsidi Samsuddin. Andaikan benar si Kamsidi Samsuddin penciptanya, maka perlu dipertanyakan julukan komponisnya. Karena itu, pemerintah harus mencabut lagu Kulihat Ibu Pertiwi dari daftar lagu-lagu nasional. Jika tidak, kita tidak perlu salahkan bangsa Malaysia menjiplak karya bangsa kitai, karena kita sendiri bangsa penjiplak.

ini lirik lagunya :

Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa

Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu
Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa
sumber : http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/

Sejarah Lagu “Malam Kudus”

Kita tentu akan merasa sesuatu yang kurang kalau ada perayaan Natal  tanpa menyanyikan “Malam Kudus,” bukan? Terjemahan-terjamahan lagu Natal kesayangan itu sedikit berbeda satu dari yang lainnya, namun semuanya hampir serupa. Hal itu berlaku juga dalam bahasa-bahasa asing. Lagu itu begitu sederhana, sehingga tidak perlu ada banyak selisih pendapat atau perbedaan kata dalam menterjemahkannya. “Malam Kudus” sungguh merupakan lagu pilihan, karena dinyanyikan dan dikasihi di seluruh dunia. Bahkan musikus ternama rela memasukkannya pada acara konser dan piringan hitam mereka.
Anehnya, nyanyian yang terkenal di seluruh dunia itu sesungguhnya berasal dari sebuah desa kecil di daerah pegunungan negeri Austria.
Inilah ceritanya….
Orgel di gereja desa Oberndorf sedang rusak. Tikus-tikus sudah mengunyah banyak bagian dalam dari orgel itu. Seorang tukang orgel telah dipanggil dari tempat lain. Tetapi menjelang Hari Natal tahun 1818, orgel itu masih belum selesai diperbaiki. Sandiwara Natal terpaksa dipindahkan dari gedung gereja, karena bagian- bagian orgel yang sedang dibetulkan itu masih berserakan di lantai ruang kebaktian.
Tentu tidak ada seorang pun yang mau kehilangan kesempatan melihat sandiwara Natal. Pertunjukan itu akan dipentaskan oleh beberapa pemain kenamaan yang biasa mengadakan tour keliling. Drama Natal sudah menjadi tradisi di desa itu, sama seperti di desa-desa lainnya di negeri Austria.
Untunglah, seorang pemilik kapal yang kaya raya mempunyai rumah besar di desa itu. Ia mengundang para anggota gereja untuk menyaksikan sandiwara Natal itu di rumahnya. Tentu saja Josef Mohr, pendeta pembantu dari gereja itu, diundang pula.
Pada malam tanggal 23 Desember, ia turut menyaksikan pertunjukan di rumah orang kaya itu. Sesudah drama Natal itu selesai, Pendeta Mohr tidak terus pulang. Ia mendaki sebuah bukit kecil yang berdekatan. Dari puncaknya ia memandang jauh ke bawah, dan melihat desa di lembah yang disinari cahaya bintang yang gemerlapan. Sungguh malam itu indah sekali…. malam yang kudus….malam yang sunyi….
Pendeta Mohr baru sampai ke rumah tengah malam. Tetapi ia belum juga siap tidur. Ia menyalakan lilin, lalu mulai menulis sebuah syair tentang apa yang telah dilihatnya dan dirasakannya pada malam itu.
Keesokan harinya pendeta muda itu pergi ke rumah temannya. Franz Gruber, yang masih muda, adalah kepala sekolah di desa Arnsdorf, yang terletak tiga kilometer jauhnya dari Oberndorf. Ia pun merangkap pemimpin musik di gereja yang dilayani oleh Josef Mohr.
Pendeta Mohr lalu memberikan sehelai kertas lipatan kepada kawannya. “Inilah hadiah Natal untukmu,” katanya, “sebuah syair yang baru saja saya karang tadi malam.”
“Terima kasih, pendeta!” balas Franz Gruber.
Setelah mereka berdua diam sejenak, pendeta muda itu bertanya: “Mungkin engkau dapat membuat lagunya, ya? “
Franz Gruber senang atas saran itu. Segera ia mulai bekerja dengan syair hasil karya Josef Mohr.
Pada sore harinya, tukang orgel itu sudah cukup membersihkan ruang kebaktian sehingga gedung gereja dapat dipakai lagi. Tetapi orgel itu sendiri masih belum dapat digunakan.
Penduduk desa berkumpul untuk merayakan malam Natal. Dengan keheranan mereka menerima pengumuman, bahwa termasuk pada acara malam itu ada sebuah lagu Natal yang baru.
Franz Gruber sudah membuat aransemen khusus dari lagu ciptaannya — untuk dua suara, diiringi oleh gitar dan koor. Mulailah dia memetik senar pada gitar yang tergantung di pundaknya dengan tali hijau. Lalu ia membawakan suara bas, sedangkan Josef Mohr menyanyikan suara tenor.
Paduan suara gereja bergabung dengan duet itu pada saat-saat yang telah ditentukan. Dan untuk pertama kalinya lagu “Malam Kudus” diperdengarkan.
Tukang orgel turut hadir dalam kebaktian Malam Natal itu. Ia senang sekali mendengarkan lagu Natal yang baru. Mulailah dia bersenandung, mengingat not-not melodi itu dan mengulang-ulangi kata-katanya. “Malam Kudus” masih tetap bergema dalam ingatannya pada saat ia selesai memperbaiki orgel Oderndorf, lalu pulang.
Sekarang masuklah beberapa tokoh baru dalam ceritanya, yaitu: Strasser bersaudara. Keempat gadis Strasser itu adalah anak-anak seorang pembuat sarung tangan. Mereka berbakat luar biasa di bidang musik. Sewaktu masih kecil, keempat gadis cilik itu suka menyanyi di pasar, sedangkan ayah mereka menjual sarung tangan buatannya. Banyak orang mulai memperhatikan mereka, dan bahkan memberi uang atas nyanyiannya.
Demikian kecilnya permulaan karier keempat gadis Strasser itu, hanya sekedar menyanyi di pasar. Tetapi mereka cepat menjadi tenar. Mereka sempat berkeliling ke banyak kota. Yang terutama mereka tonjolkan ialah lagu-lagu rakyat dari tanah air mereka, yakni dari daerah pegunungan negeri Austria.
Tukang orgel tadi mampir ke rumah keempat Strasser bersaudara. Kepada mereka ia nyanyikan lagu Natal yang baru saja dipelajarinya dari kedua penciptanya di gereja desa itu.
Salah seorang penyanyi wanita menuliskan kata-kata dan not-not yang mereka dengarkan dari tukang orgel teman mereka. Dengan berbuat demikian mereka pun dapat menghafalkannya.
Keempat wanita itu senang menambahkan “Malam Kudus” pada acara mereka. Makin lama makin bayak orang yang mendengarnya, sehingga lagu Natal itu mulai dibawa ke negeri-negeri lain pula.
Pernah seorang pemimpin konser terkenal mengundang keempat kakak-beradik dari keluarga Strasser itu untuk menghadiri konsernya. Sebagai  atraksi penutup acara yang tak diumumkan sebelumnya, ia pun memanggil keempat wanita itu untuk maju ke depan dan menyanyi. Antara lain, mereka menyanyikan “Malam Kudus,” yang oleh mereka diberi judul “Lagu dari Surga.”
Raja dan ratu daerah Saksen menghadiri konser itu. Mereka mengundang rombongan penyanyi Strasser itu untuk datang ke istana pada Malam Natal. Tentu di sanapun mereka membawakan lagu “Malam Kudus.”
~ Anonymous
Silent night! holy night!
All is calm, all is bright;
Round yon virgin mother and Child,
Holy Infant, so tender and mild
Sleep in heavenly peace, sleep in heavenly peace.
Silent night! holy night!
Shepherds quake at the sight;
Glories stream from heaven afar;
Heav’nly hosts sing alleluia
Christ the Saviour is born!
Christ the Saviour is born!
Silent night! holy night!
Son of God, love’s pure light
Radiant beams from Thy holy face
With the dawn of redeeming grace
Jesus, Lord at Thy birth,
Jesus, Lord at Thy birth.
—————————
*Sumber : http://www.gkigadser.org/index.php?option=com_content&view=article&id=118:sejarah-lagu-qmalam-kudusq&catid=45:komisi-musik-gereja&Itemid=78

Sejarah lagu “AMAZING GRACE” – John Newton (1725 – 1807)

Kebanyakan orang yang menyanyikan pujian: “Anug’rah yang menakjubkan, betapa indah kedengarannya, yang menyelamatkan sampah (wretch: good for nothing, devil, never do well, villain, rascal, rouge, …. MW Dictionary) seperti saya,” tidak lagi memiliki perasaan yang sama seperti yang dirasakan John Newton pada saat itu. Dan jika pernah ada sampah yang pernah diselamatkan secara luar biasa oleh anugerah Tuhan, maka orang yang menulis kalimat ini, menuliskannya sebagai suatu pernyataan pribadi.
John Newton, lahir di London, anak seorang kapten kapal yang sangat dihormati, pada awalnya mendedikasikan diri kepada pelayanan Kristen, akibat ibunya yang sangat taat. Pelatihan keagamaannya bermula pada masa kecil dan ketika dia berusia 4 tahun, dia dapat dengan lancar menghafalkan bait-bait dari Katekismus Wesminster dan lagu-lagu pujian karangan Isaac Watts.
Ketika berusia 11 tahun, dia berlayar ke Mediterania bersama ayahnya, tetapi pada usia 17 tahun, dia meninggalkan semua atribut keagamaannya dan beralih pada penyembahan kepada iblis. Hanya karena kekasihnya Mary Catlett, yang dicintainya sejak 1742, tapi akhirnya baru dinikahi tahun 1750, yang menyinarkan sedikit cahaya kemanusiaan dalam hatinya. Dia meninggalkan kapalnya, dan dibawa kembali seperti seorang tawanan. Sangat besar hukuman yang harus ditanggungnya, hingga dia berencana untuk melakukan bunuh diri, hanya karena cintanya yang sangat besar kepada Mary, yang tetap membuatnya bertahan.
Setelah menjalani masa hukumannya, dia memulai suatu karier yang begitu keji, hingga teman-temannya mulai meragukan akal sehatnya. Tinggal bersama beberapa waktu di antara para pedagang budak di Sierra Leone, dia diperlakukan sangat buruk oleh istri majikannya, seorang Portugis berkulit hitam. Belakangan kemudian, dia berkata,”Jika Anda pernah melihat saya begitu dalam mimpi buruk, dan malam hari sendiri mencuci pakaian saya di bebatuan, setelah itu mengenakannya walau masih basah, agar dapat kering di punggung saya ketika saya tidur; jika Anda pernah melihat saya sebagai seseorang yang begitu miskin yang ketika sebuah kapal berlabuh di pulau, malu kadang mendatangi saya hingga saya ingin menyembunyikan muka saya dibalik pepohonan, menghindari tatapan mata orang-orang asing; jika Anda tahu bahwa tingkah laku saya, prinsip hidup saya, dan hati saya masih lebih hitam dari kondisi fisik saya – betapa sangat kecil kemungkinan Anda akan membayangkan bahwa seseorang seperti itu dijaga dengan begitu baik dengan providensi dan kebaikan yang luar biasa oleh Allah.” Kemudian ditambahkan, ”Satu-satunya keinginan baik yang tersisa hanyalah kembali ke Inggris dan menikahi Mary.”
Setelah dipermalukan dan penderitaan yang berlanjut, dia berada di atas sebuah kapal yang menuju ke Inggris, menghabiskan beberapa hari yang sepi di laut membaca “Imitation of Christ (Thomas A. Kempis).” Ketika sebuah badai besar mengamuk, dia menganggap dirinya seperti Yunus yang menjadi penyebab dan kutukan atas kehidupannya yang sangat rusak, atas angin yang luar biasa dan gelombang setinggi gunung yang mengancam kapal tersebut untuk karam. Tiba-tiba sebuah badai besar menghantam jiwanya. Dengan kesadaran yang telah dibangkitkan dia menganggap hari tersebut, 10 Maret 1748, sebagai hari ‘ulang tahun’ rohaninya.
“Saya menangis memohon kepada Tuhan dengan tangisan seperti pekikan yang muak didengarkan, tetapi tidak ditolak oleh Allah,” dia berkata. “Dan saya mengingat Yesus yang begitu sering saya acuhkan.”Tetapi perubahan yang terjadi saat itu, hanyalah sebuah reformasi dari seseorang yang belum percaya. Selama 6 tahun berikutnya dia melakukan beberapa perjalanan dengan kapal yang dimilikinya, dengan membawa beberapa barang, bahkan budak-budak di beberapa kesempatan. Hingga ketika dia tiba di Liverpool tahun 1754, barulah dia menjadi orang Kristen yang lahir baru. Tetapi belum juga dia menyadari diri untuk terjun ke dalam suatu pelayanan yang telah dipersiapkan ibunya sejak dahulu. Secara bertahap dia mulai memusatkan segalanya kepada Kristus, dengan harapan bahwa suatu saat dia akan tertebus untuk dipanggil melayani Kristus. Setalah dua kali secara ajaib terselamatkan dari kematian, dana beberapa tahun belajar dan latihan yang sulit, dia diangkat sebagai pejabat kerasulan di Church of England pada bulan 16 Desember 1758.
Enam tahun kemudian dia pergi ke Olney, dimana dia diurapi menjadi seorang diaken dan pendeta.  Kebersamaannya dengan William Cooper menghasilkan diterbitkannya buku mereka berjudul “Olney Hymns.” Nomor 41, pada buku I, mengandung kisah hidup Newton dalam versi: Amazing grace, how sweet the sound, That saved a wretch like me; I once was lost but now am found, Was blind but now I see. ‘Twas grace that taught my heart to fear, And grace my fears relieved; How precious did that grace appear, The hour I first believe. Through many dangers, toils and snares, I have already come; ‘Tis grace hath brought me safe thus far, And grace will lead me home.  Perjalanan hidupnya berakhir di tahun 1779, pergi untuk melayani dua gereja di London. Di sana dia mencurahkan semua tenaganya untuk melayani Tuhan dengan setia hingga hayatnya tiba, 21 Desember 1807, di usia 82.
Di nisannya tertulis seperti berikut: “John Newton, Pejabat, seseorang yang dahulunya penentang Kristen dan penganut kebebasan, yang, oleh anugerah yang kaya dari Tuhan dan Juruslamat kita, Yesus Kristus, dijaga, dibaharui, diampuni, dan diurapi untuk memberitakan iman yang dahulu sangat berusaha dihancurkan olehnya, hampir 16 tahun di Olney di Bucks, dan 28 tahun di gereja ini.”Kemudian ditambahkannya,”Dan saya dengan sangat serius mengharapkan bahwa tidak ada monumen lain dan tulisan lain kecuali hal yang dituliskan ini, yang dibuat atas nama saya.”
Tuhan, buatlah aku sadar akan dosa-dosaku. Buatlah aku sadar juga dengan anugerah-Mu yang agung – anugerah-anugerah kehidupan setiap hari dan anugerah keselamatan yang ajaib dan indah.
Amazing  Grace Lirik
1. Amazing grace! How sweet the sound
That saved a wretch like me!
I once was lost, but now am found;
Was blind, but now I see. 2. ‘Twas grace that taught my heart to fear,
And grace my fears relieved;
How precious did that grace appear
The hour I first believed.
3. Through many dangers, toils, and snares

I have already come;
‘Tis grace that brought me safe thus far,
And grace will lead me home.
4. And when this flesh and heart shall fail,

And mortal life shall cease,
I shall possess, within the veil,
A life of joy and peace.
5. When we’ve been there ten thousand years,

Bright shining as the sun,
We’ve no less days to sing God’s praise
Than when we first begun.

Sumber : http://www.gkigadser.org/index.php?option=com_content&view=article&id=96:sejarah-lagu-qamazing-graceq-john-newton-1725-1807&catid=45:komisi-musik-gereja&Itemid=78

Jumat, 24 Desember 2010

Tiga Setengah Menit

Oleh: Sonny Wibisono *

“Anakmu bukan anakmu.“
-- Khalil Gibran dalam ‘Sang Nabi’

Di satu ruko di pinggir Jakarta, seorang gadis tengah asyik menggesek biola. Tangan dan jari-jarinya belumlah sempurna memencet senar biolanya. Pantat biola sering jatuh dari pundaknya yang kecil. Maklum, usianya masih belum jauh berangkat dari angka lima. Namun dia senang tiada kepalang.

Sang ibunda mengambil kamera berponsel. Bunyi ngak-ngik-ngok menggempur telinga. Agak tidak beraturan nadanya. Namun si ibu senang dengan aksi anaknya di tempat kursus musik itu. Dia merekam aksi anak sulungnya selama tiga menit lewat sedikit. Yah, hampir tiga setengah menitlah. ”Ayah pasti senang,” katanya dengan tersenyum. Bangga sekali.

Nun jauh di timur Pulau Jawa. Ratusan kilometer dari Ibu Kota. Video berdurasi tiga setengah menit juga dibuat seseorang dan diunggah ke situs youtube.com. Isinya, sama-sama bocah. Tapi dia bukan bocah manis. Mulutnya disumpal sebatang rokok yang terus menyala dan omongannya itu lho, ampun, kasar dan vulgar.

Entah apa yang ada di benak si perekam dan mengunggahnya di situs video youtube.com. Jelas dia tidak sedang ingin bercanda dengan hasil rekaman video singkat itu. Namun, mungkin juga ia tidak pernah berpikir gambar hasil rekamannya itu dimaksudkan untuk memotret kelamnya sebuah negeri. 3,29 menit berlalu, negeri ini pun geger.

Berbagai berita mengabarkan tentang anak ini. Dia hidup bersama ibunya yang depresi dan tumbuh di lingkungan yang tidak bagus untuk pertumbuhannya. Kabarnya, Komnas Perlindungan Anak mendapatkan laporan sekitar 10 kasus serupa. Tapi itu mungkin yang ketahuan. Yang tidak dilaporkan?

Bisa jadi lebih. Lihatlah ke jalan-jalan. Saat berhenti di lampu merah, anak-anak yang baru berusia tiga hingga lima tahun sudah berada di sana dengan menengadah tangan, mengetuk-ngetuk jendela mobil. Sungguh pemandangan yang mengibakan.

Bocah-bocah ini tidak punya kesempatan belajar menggesek biola. Jangankan itu, untuk makan saja mereka terpaksa atau mungkin dipaksa untuk turun ke jalan. Ingus mereka belumlah kering, tapi mereka sudah memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang.

Anak-anak adalah masa depan bangsa ini. Merekalah penerus negeri ini. Mereka yang kurang beruntung sejatinya menjadi urusan negara. Karena undang-undang memang mengamanahkan demikian. Namun kita semua tahu, negara ini terlalu banyak urusan yang harus ditangani.

Kita tentu bersyukur banyak orang-orang yang peduli dengan nasib buruk yang menimpa anak-anak itu. Sedikit uluran tangan pasti membantu anak-anak yang malang ini terhindar dari masalah besar. Anda pun dapat membantu mereka. Sesuai kemampuan Anda.

Tapi, bila kita tidak mampu melakukan itu, cukuplah menjaga anak-anak kita sendiri. Keluarga kita sendiri. Menghentikan semua urusan pekerjaan saat akhir pekan datang. Lalu membenamkan atau bahkan menjadi seperti diri mereka akan sangat menghilangkan kepenatan selama sepekan penuh. Jadi tak perlu ke tukang pijat.

Keluarga merupakan perhiasan yang sangat berharga. Anak-anak adalah permata yang makin membuatnya indah. Terlalu merugi untuk diabaikan.

*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media
Komputindo
, 2009

Rabu, 22 Desember 2010

Sajak Ibu

ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar
ibu akan marah besar
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami
ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang
ketabahan ibuku
mengubah rasa sayur murah
jadi sedap

ibu menangis ketika aku mendapat susah
ibu menangis ketika aku bahagia
ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
ibu menangis ketika adikku keluar penjara

ibu adalah hati yang rela menerima
selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun
kasih sayang ibu
adalah kilau sinar kegaiban tuhan
membangkitkan haru insan

dengan kebajikan
ibu mengenalkan aku kepada tuhan

solo,1986

Sumber: 'Sajak Ibu' ditulis oleh Wiji Thukul, peraih Yap Thiam Hien
Award 2002

No Charge

Pada suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya di dapur, yang sedang menyiapkan makan malam, dan ia menyerahkan selembar kertas yang selesai ditulisinya.

Setelah ibunya mengeringkan tangannya dengan celemek, ia membacanya dan inilah tulisan si anak:

Ma, berikut ini utang mama kepada saya selama ini:
Untuk memotong rumput Rp 50.000
Untuk membersihkan kamar minggu ini Rp 10.000
Untuk pergi ke toko menggantikan mama Rp 25.000
Untuk menjaga adik waktu mama belanja Rp 25.000
Untuk membuang sampah Rp 10.000
Untuk rapor yang bagus Rp 50.000
Untuk membersihkan dan menyapu halaman Rp 30.000
Jumlah utang Rp 200.000

Si ibu memandang anaknya yang berdiri di situ dengan penuh harap, berbagai kenangan terlintas dalam pikiran ibu itu. Jadi, ia mengambil bolpen, membalikkan kertasnya, dan inilah yang dituliskannya:

Untuk sembilan bulan ketika mama mengandung kamu selama kamu tumbuh dalam perut mama, GRATIS.
Untuk semua malam ketika mama menemani kamu, mengobati kamu, dan mendoakan kamu, GRATIS.
Untuk semua saat susah, dan semua air mata yang kamu sebabkan selama ini, GRATIS.
Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut dan untuk rasa cemas di waktu yang akan datang, GRATIS.
Untuk mainan, makanan, baju, dan juga menyeka hidungmu, GRATIS, Anakku.
Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, harga cinta sejati mama adalah GRATIS.

Ketika anak itu selesai membaca apa yang ditulis ibunya, air matanya berlinang, dan ia menatap wajah ibunya dan berkata:

"Ma, aku sayang sekali pada Mama."

Dan kemudian ia mengambil bolpen dan menulis dengan huruf besar "LUNAS".

Selasa, 21 Desember 2010

Dalam Terang Cahaya Keheningan

Oleh: Gede Prama

Sebuah peradaban yang riuh, demikian sebuah komentar menyimpulkan kehidupan di awal abad 21. Lebih-lebih ketika menghampar krisis energi dan pangan. Banyak yang sepakat kalau dunia sedang mengalami kepanikan global. Wakil AS menuduh India menghabiskan cadangan pangan karena jumlah penduduknya yang besar. Wakil India menuding balik dengan menyebutkan kalau Amerika Serikat dengan seluruh keserakahannya yang membuat krisis pangan dan energi. Di Indonesia, pangan dan energi ini juga menjadi komoditi politik untuk menjatuhkan lawan.

Ada yang menelaah wajah peradaban ini tidak dengan analisis, namun dengan lelucon. Suatu hari seorang pemuda kebingungan memilih isteri. Datanglah dia pada seorang sesepuh. Dan diberitahulah syarat-syarat calon isteri yang baik. Dari berwajah cantik, puteri orang kaya, bekerja, berkinerja dahsyat di tempat tidur sampai dengan bisa diminta mengepel lantai.

Ternyata, setelah dicari-cari tidak ada wanita ideal seperti itu. Bila cantik, puteri orang kaya, wanita karir, maka harga yang harus dibayar, suaminya terpaksa mengisi keseharian dengan mengepel lantai, sambil bernyanyi sendu lirik lagu "diriku tak pernah lepas dari penderitaan".

Semakin dipertentangkan, semakin panas

Peradaban manusia serupa, setiap kelebihan meminta ongkos berupa kekurangan. Keserakahan hanya mau kelebihan, dan berharap kelebihan tidak berubah-ubah menjadi kekurangan, itulah awal kehidupan yang riuh dan penuh penderitaan.

Dulu ketika dunia dibuat takut oleh potensi perang bintang antara dua negara adi kuasa, tidak ada tanda-tanda ketakutan akan bom teroris. Sekarang ketika ketakutan perang global berhenti, bahkan memasuki hotel pun harus diperiksa petugas keamanan.

Nasib bangsa ini setali tiga uang. Ia terlihat berputar dari satu ketidakpuasan menuju ketidakpuasan lain, karena manusianya menolak semua kekurangan. Di zaman orde baru, sebagian hak-hak politik memang dikekang, tapi di zaman itu harga pangan, papan dan minyak terjangkau. Di zaman reformasi ini, kebebasan politik berkibar-kibar, siapa pun boleh dikritik, namun ia harus dibayar dengan harga pangan, papan dan minyak yang semakin jauh dari jangkauan. Persis sama dengan lelucon pemuda yang bingung mencari isteri, setiap kelebihan harus dibayar dengan kekurangan.

Di tengah pengapnya peradaban oleh banyak sekali ketidakpuasan, tidak terhitung jumlah rapat, konferensi, wacana, seminar sampai kuliah tingkat tinggi di perguruan tinggi yang mau mencoba mengurai situasi. Dan ternyata, semakin diperdebatkan peradaban jadi semakin panas.

Bila ada hasilnya, peradaban akan tambah sejuk. Namun sebagaimana dirasakan bersama, bumi tambah panas baik secara fisik, psikologis, spiritual. Jika ditelusuri lebih dalam kehidupan manusia, ia ditandai kelahiran dengan tangisan bayi yang riuh, serta kematian plus tangisan orang yang ditinggalkan yang juga riuh. Bila di tengah-tengahnya juga riuh dengan perdebatan dan perkelahian, menimbulkan pertanyaan mendalam, kapan manusia punya kesempatan berjumpa keheningan?

Menjadi satu dengan alam

Alam sebagai guru bertutur terang, semuanya berubah, semuanya membawa kelebihan-kekurangan. Siang berganti malam, malam berganti siang. Bila gunung tinggi, jurangnya dalam. Diperdebatkan atau tidak, tetap seperti ini. Memahami dalam-dalam sifat alami inilah yang membukakan keheningan.

Seorang guru yang punya banyak murid di Barat agak terang dalam hal ini. Tahapan memasuki pintu keheningan sebenarnya sederhana. Pertama-tama, belajar dari alam. Kemudian hidup sesuai prinsip-prinsip alami. Sebagai hasilnya, manusia bisa melihat kebenaran di balik alam. Dan ujung-ujungnya baru bisa menjadi satu dengan alam. Sebelum menyatu dengan alam, manusia akan terus berputar dari satu penderitaan ke penderitaan lain.

Ia yang bersatu dengan alam tahu, ada bimbingan, ada kesempurnaan, ada keindahan di sana. Laut sebagai contoh, ia membawa bimbingan-bimbingan. Sama dengan hidup manusia, ada gelombang tinggi (baca: kaya, dikagumi), ada gelombang rendah (kehidupan orang biasa). Namun tanpa memandang tinggi-rendah, gelombang mana pun ikhlas dan rendah hati pada bibir pantai. Seperti sedang bercerita, ikhlas dan rendah hatilah, ini yang membuat kematian berhenti berwajah menakutkan.

Siapa yang mengisi kesehariannya dengan keikhlasan dan kerendahatian, akan menemukan bahwa alam sebenarnya sebuah perpustakaan agung. Berlimpah pengetahuan dan kebijaksanaan yang disimpan di sana. Perhatikan laut lebih dalam lagi. Di permukaan ia senantiasa bergelombang. Sama dengan hidup manusia. Di kedalaman yang dalam, tidak ada gerakan apa lagi gelombang. Hanya hening yang melukis keindahan dan kesempurnaan.

Cermati apa yang ditulis Zenkei Shibayama dalam A Flower does not talk: "silently a flower blooms, in silence it falls away….pure and fresh are the flowers with dew….calmly l read the True Word of no letters". Bunga mekar tanpa suara, berguguran juga tanpa suara. Tanpa keluhan tanpa perdebatan. Ada kesucian yang menggetarkan dalam bunga yang berhiaskan embun pagi. Dalam bimbingan hening, tiba-tiba terbaca makna tanpa kata-kata. Zenkei Shibayama menyebutnya Scripture of no letters. Tanpa kata-kata, tanpa keriuhan. Hanya sebuah hati yang berkelimpahan dalam dirinya!

Kembali ke cerita awal tentang peradaban yang riuh, dunia memang sedang dibelit krisis. Namun ketika kata-kata, perseteruan memperpanas suhu panas peradaban yang sudah panas, mungkin ini saatnya membaca Scripture of no letters. Ada yang menyebutnya pengetahuan di dalam yang hanya membuka dirinya di puncak keheningan.

Untuk melangkah ke sana, mulailah hidup sesuai hukum alam. Ia yang mengalir bersama alam, tersenyum pada setiap putaran alam tahu sebenarnya tidak ada hukuman. Apa yang kerap disebut sebagai bencana, sebenarnya hanya undangan laut untuk menyelam semakin dalam. Memasuki wilayah-wilayah tanpa gelombang (baca: tanpa perdebatan) namun penuh keheningan.

Sebagaimana ditulis rapi oleh kehidupan para Mahasidha (manusia yang menjadi agung karena melewati banyak rintangan seperti Jalalludin Rumi, Bunda Theresa, Milarepa, Mahatma Gandhi), awalnya bencana terlihat sebagai cobaan. Namun begitu dialami, ia memperkuat otot-otot kehidupan. Persis seperti otot fisik yang kuat karena banyak dilatih. Bila begini cara memandangnya, bencana bukannya membawa kegelapan kemarahan, ia membawa cahaya penerang.

Berbekalkan ketekunan, bencana membuat batin kebal dengan penderitaan. Kekebalan ini kemudian membuat manusia bisa menyambut semua dualitas (baik-buruk, sukses-gagal, hidup-mati) dengan senyuman yang menawan. Inilah secercah cahaya keheningan. Ia menyisakan hanya satu hal: compassion is the only nourishment. Dualitas memang lenyap, kasih sayang kemudian membuat kehidupan berputar.

Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik

Oleh : Sudarwati D. Jupriono
Marilah Kita Dudukkan Masalahnya
Perbedaan makna kata betina dengan wanita atau betina dengan perempuan itu sudah jelas bagi kita. Akan tetapi, apa beda antara wanita dan perempuan ini yang belum jelas!
Telaah ini memang mencoba mendudukkan posisi tiap kata, kapan orang harus menggunakannya sesuai dengan kandungan semantisnya dan maksud yang diinginkan. Dengan demikian, diharapkan segera bisa dijawab saat harus memilih manakah yang tepat: "Darma Wanita" ataukah "Darma Perempuan", "Pemberdayaan Perempuan" ataukah "Pemberdayaan Wanita", misalnya.
Telaah dilakukan berdasarkan arti kata leksikal dasarnya, menurut kamus (semantik leksikal) (cf. Hurford dan Heasley, 1984). Lalu, penjelajahan arti akan dilengkapi dengan memanfaatkan beberapa hasil penelitian yang ada, terutama tentang sejarah perubahan makna kata (semantik historis) (Palmer, 1986: 8-11). Kajian ini juga akan melihat bagaimana arti kata dalam pemakaian (pragmatik). Data dijaring dengan teknik dokumentasi acak dari kamus dan teknik studi pustaka terhadap tulisan yang relatif lama serta teknik rekaman tuturan keseharian. Dengan metode deskriptif, data akan dianalisis dengan teknik eksplanatori-komparatif, yang akan menjelasan perbandingan arti kata antarwaktu.
Apa Arti Betina?
Kata betina diduga kuat berhubungan dengan kata batina dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) ("Kamus Jawa Kuno Indonesia", Mardiwarsito, 1986). Bahasa Kawi sendiri kemungkinan besar menyerapnya dari bahasa Sanskrit (Sanskerta). Relasi fonis batina dengan betina beranalogi dengan relasi fonis mahardika-mardika-merdeka 'bebas'. Mungkin ini juga analog dengan saksama-seksama (?).
Menurut "Kamus Dewan" (KD) (Iskandar, 1970: 114), kata betina merupakan antonim jantan. Dalam pemakaiannya, betina cocok dilekatkan sebagai pemarkah jenis (gender) binatang atau benda yang tidak hidup. Misalnya dalam bahasa Indonesia (Melayu) kita temui ayam betina, singa betina, bunga betina, dan embun betina.
Tidak jauh berbeda dengan KD, "Kamus Besar Bahasa Indonesia" (KBBI) (Tim, 1988: 111) menambahi satu makna lagi untuk betina, yakni 'sanak keponakan dari istri'. Ada dua hal yang dapat dicatat dari tambahan acuan di sini. Pertama, istilah "sanak keponakan" menunjukkan posisi generasi lebih muda. Sebagai yang lebih muda, tentu dia tetap berada di bawah generasi lebih tua. Kedua, pernyataan "dari istri" berarti bahwa yang dipandang bawah, yunior, itu karena istri, dan istri selalu perempuan! Oleh karena itu, ini juga menyiratkan muatan semantis bahwa apa yang datang dari istri (bukan suami) akan ditempatkan di bawah suami.
Sebagai nama jenis kelamin binatang, betina tidak mengundang persoalan; netral saja. Tidak ada muatan nuansa apa pun. Bagaimana seandainya kata ini dipakai untuk manusia? Ini baru masalah! Jika dikaitkan dengan aktivitas, keberadaan, dan sifat manusia, artinya menjadi tidak netral lagi. Peribahasa Melayu "Baik jadi ayam betina sepaya selamat" (Iskandar, 1970: 114), misalnya, berarti 'kita tak usah menonjolkan keberanian sebab hanya mendatangkan kesusahan belaka'; dengan kata lain, 'sebaiknya kita diam, tak usah macam-macam, hindarilah tantangan'. Dengan demikian "bersikap betina" justru dinilai positif dalam pandangan lama.
Bisa dimengerti, sebagai peribahasa Melayu Kuno, kandungan nilai peribahasa ini juga tradisional, konvensioanl, dan feodal. Dalam pandangan tradisional, sikap individualistik mesti dihindari (cf. Dananjaya, 1984). Ini jelas bertolak belakang dengan pandangan modern, yang menempatkan eksistensi individu pada tempat yang diakui. Oleh karena itu, penonjolan individu tidak selalu jelek, bergantung pada konteks kepentingannya.
Dalam pemakaiannya sekarang, kata betina yang dikenakan pada manusia akan menemukan makna buruk. Misalnya pada wacana berikut:
(1) Kamu ini kok cerewet banget sih. Urus saja diri sendiri. Ngapain tanya urusan orang segala. Dasar betina!
(2) Winda benar-benar betina, yang nafsunya terlampau besar, hingga tak pernah puas hanya dengan satu lelaki suaminya itu.

Dalam wacana (1), kalimat "Dasar betina" bermakna negatif: 'cerewet, usil, mau tahu urusan orang saja'. Dalam kalimat (2), pernyataan "benar-benar betina", berdasarnya konteks kalimatnya, berarti "minor" juga: 'nympomania'. Di sini Winda digambarkan sebagai perempuan yang bernafsu menggebu-gebu, selingkuh dengan lelaki lain. Pada konteks inilah betina menemukan makna buruknya. Harus diakui bahwa semua pandangan ini tidak pernah bebas dari stereotipe gender perempuan dari masyarakat kita (Kweldju, 1993). Maka, dalam kondisi apa pun tak pernah ada yang senang disebut betina. Dengan demikian, yang muncul adalah Darma Wanita (organisasi ibu-ibu pegawai) dan Bukan Perempuan Biasa dan tentulah tentu bukan "*Darma Betina" atau pun "*Bukan Betina Biasa".
Singkat kata, kata betina memuat makna (1) 'jenis kelamin binatang', (2) 'cerewet, usil, dan (3) 'haus seks', serta (4) 'generasi yunior dari garis istri'.
Apa Arti Wanita?
Sejarah kontemporer bahasa Indonesia, ya sekarang ini, mencatat bahwa kata wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih tinggi daripada arti dahulu ("Kamus Linguistik", Kridalaksana, 1993: 12).
Menurut KD (1970: 1342), kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan. Pada halaman yang sama, dicontohkan frase wanita-wanita genit. Contoh ini paradoksal. Sebab, jika wanita berupakan bentuk halus, mengapa ada kata genit-nya, sesuatu yang jelas tidak halus. Tetapi, ini juga menyiratkan pandangan bahwa kata itu memang khas untuk manusia (perempuan), bukan lelaki, binatang, demit, ataukah benda lain.
Kata kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti 'keputrian' atau 'sifat-sifat khas wanita'. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung, mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-benar dihindari nuansa 'memprotes', 'memimpin', 'menuntut', 'menyaingi', 'memberontak', 'menentang', 'melawan'. Maka, bisa dimengeri bahwa yang muncul dipilih sebagai nama organisasi wanita bergengsi nasional adalah "Darma Wanita", sebab di sinilah kaum wanita berdarma, berbakti, mengabdikan dirinya pada lembaga tempat suaminya bekerja. Maka, program kerjanya pun harus selalu mendukung tugas-tugas dan jabatan suami,1) jangan bermimpi bisa independen memang bukan itu misinya.
Dalam KBBI (1988: 1007), wanita berarti 'perempuan dewasa'. Sama seperti halnya KD, meski dengan redaksi lain, KBBI pun mendefinisikan kewanitaan (bentuk derivasinya) sebagai "yang berhubungan dengan wanita, sifat-sifat wanita, keputrian". Muatan makna aktif, menuntut hak, radikal, tak ada dalam arti kata ini.
Berdasarkan "Old Javanese English Dictionary" (Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti 'yang diinginkan'. Arti 'yang dinginkan' dari wanita ini sangat relevan dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa wanita adalah 'sesuatu yang diinginkan pria'. Wanita baru diperhitungkan karena (dan bila) bisa dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu sudut pandang "lawan mainnya", ya pria itu. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil. Dengan demikian, kata ini berarti hanya menjadi objek (bagi lelaki) belaka. Adakah yang lebih rendah dari "hanya menjadi objek"?
Makna wanita sebagai 'sasaran keinginan pria' juga dipaparkan oleh Prof. Dr. Slametmuljana dalam "Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara" (1964: 59--62). Kata wanita, dalam bahasa aslinya (Sanskerta), tulisnya, bukan pemarkah (marked) jenis kelamin. Dari bahasa Sanskerta vanita, kata ini diserap oleh bahasa Jawa Kuno (Kawi) menjadi wanita, ada perubahan labialisasi dari labiodental ke labial: [v]-->[w]; dari bahasa Kawi, kata ini diserap oleh bahasa Jawa (Modern); lalu, dari bahasa Jawa, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia. Setelah diadopsi bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, kata ini mengalami tambahan nilai positif.
Ada juga pandangan lain, yang cukup "menyakitkan", yakni bahwa kata wanita bukanlah produk kata asli (induk). Kata ini hanyalah merupakan hasil akhir dari proses panjang perubahan bunyi (yang dalam studi linguistik sering disebut gejala bahasa) metatesis2) dan proses perubahan kontoid3) dari kata betina. Urutan prosesnya demikian. Mula-mula kata betina menjadi batina; kata batina berubah melalui proses metatesis menjadi banita; kata banita mengalami proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dari [b]-->[w] sehingga menjadi wanita. Maka, memang aneh bin ajaib, bahwa kata yang demikian kita hormati, bahkan kita letakkan pada tempat tinggi di atas kata perempuan ini, maksudnya ya wanita itu, ternyata berasal dari kata rendah betina.
Mungkin karena itulah, organisasi "Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia" (Iwapi) sering dipelesetkan artinya tentu saja, oleh pria menjadi "Iwak-e Papi-papi", "Dagingnya bapak-bapak" atau "Lauknya Bapak-bapak" seakan wanita itu tak lebih dari "daging" atau "lauk-pauk" yang bisa dikonsumsi oleh pria. Dalam karier militer pun, dipakai wanita. Misalnya saja "Korps Polisi Wanita" (Polwan, 1948), "Korps Wanita Angkatan Darat" (Kowad, 1961), "Korps Wanita Angkatan Laut" (Kowal, 1962), "Korps Wanita Angkatan Udara" (Wara, 1963). Meskipun begitu, pelecehen keterlibatan dan kemampuan wanita dalam tubuh ABRI pun masih terjadi. Terang-terangan memang tidak, tetapi ada dalam bentuk ungkapan humor di masyarakat (Dananjaya, 1984), misalnya berikut ini.
Seorang komandan serdadu pada suatu front peperangan memerintahkan penarikan mundur khusus serdadu wanita. Alasannya, mereka melanggar disiplin medan. Serdadu-serdadu wanita, yang merasa tidak membuat kesalahan disiplin militer, memprotes ramai-ramai. "Kesalahan??? Kesalahan apa itu, Komandan? Ini tidak adil!" Jawab Komandan dengan kalem, "Kamu sih, setiap diberi komando  'tiaraaap ...', ee kamu malah terlentang."
Ini merupakan pantulan realitas bahwa apa pun yang dilakukan wanita tetaplah tak sanggup menghapus kekuasaan pria. Wanita berada dalam alam tanpa otonomi atas dirinya. Begitulah inferioritas wanita akan selalu menderita gagap, gagu, dan gugup di di bawah gegap gempitanya superioritas pria.
Berdasarkan etimologi rakyat Jawa (folk etimology, jarwodoso atau keratabasa, kata wanita dipersepsi secara kultural sebagai 'wani ditoto'; terjemahan leksikalnya 'berani diatur'; terjemahan kontekstualnya 'bersedia diatur'; terjemahan gampangnya 'tunduklah pada suami' atau 'jangan melawan pria'. Dalam hal ini wanita dianggap mulia bila tunduk dan patuh pada pria. Sering ada ungkapan "pejang gesang kula ndherek" (hidup atau mati, aku akan ikut suami), "swargo nunut, neraka katut" (suami masuk surga aku numpang, suami masuk neraka aku terbawa). Ternyata anggapan Jawa ini merasuk kuat dalam bahasa Indonesia. Kesetiaan wanita dinilai tinggi, dan soal kemandirian wanita tidak ada dalam kamus. Karenanya, dalam bahasa Indonesia kata wanita bernilai lebih tinggi sebab, kata Ben Anderson (1966), bahasa Indonesia mengalami "jawanisasi" atau "kramanisasi": kulitnya saja bahasa Melayu yang egaliter, tetapi rohnya bahasa Jawa yang feodal itu.
Dalam persepsi kultural Jawa pulalah, kata wanita menemukan perendahan martabat ketika ia "dipakai" salah satu barang klangenan (barang-barang untuk pemuasaan kesenangan individu). Jargon lengkap populernya adalah harta, senjata, tahta, wanita. Lelaki Jawa, menurut persepsi Jawa ini, baru benar-benar mampu menjadi lelaki sejati, lelananging jagat, bila telah memiliki kekayaan berlimpah (harta), melengkapi diri dengan kesaktian dan senjata (senjata), agar dapat memasuki kelas sosial yang lebih tinggi, priyayi (tahta), dan semuanya baru lengkap bila sudah memiliki banyak wanita, entah sebagai istri sah entah sekadar selir atau gundik4). Di sini tampak benar bahwa manusia wanita disederajatkan dengan benda-benda mati semacam degradasi harkat martabat salah satu gender5), sekaligus dehumanisasi.
Dengan demikian, untuk sementara bisa segera ditarik kata simpul: wanita berarti 'manusia yang bersikap halus, mengabdi setia pada tugas-tugas suami'. Suka atau tidak, inilah tugas dan lelakon yang harus dijalankan wanita. Apakah memang demikian?
Apa Arti Perempuan?
Dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih rendah dari arti dahulu (Kridalaksana, 1993).
Di pasar pemakaian, terutama di tubuh birokrasi dan kalangan atas, nasib perempuan terpuruk di bawah kata wanita, sehingga yang muncul adalah Menteri Peranan Wanita, pengusaha wanita (wanita pengusaha), insinyur wanita, peranan wanita dalam pembangunan, dan pastilah bukan *Menteri Peranan Perempuan, *pengusaha perempuan (*perempuan pengusaha), *insinyur perempuan, *peranan perempuan dalam pembangunan.
Dalam KD (1970: 853), kata perempuan berarti 'wanita', 'lawan lelaki', dan 'istri' . Menurut KD, ada kata raja perempuan yang berarti 'permaisuri'. Dengan contoh ini kata ini tidak berarti rendah. Sementara itu, kata keperempuanan berarti 'perihal perempuan', maksudnya pastilah masalah yang berkenaan dengan keistrian dan rumah tangga. Dalam hal ini, meski tidak terlalu rendah, tetapi jelas bahwa kata ini menunjuk perempuan sebagai 'penunggu rumah'.
KBBI (1988: 670) memberikan batasan yang hampir sama dengan KD, hanya ada tambahan sedikit, tetapi justru penting, untuk kata keperempuanan. Menurut KBBI, keperempuanan juga berarti 'kehormatan sebagai perempuan'. Di sini sudah mulai muncul kesadaran menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin. Tersirat juga di sini makna 'kami jangan diremehkan' atau 'kami punya harga diri'.
Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi, tidak di bawah, tetapi sejajar, bahkan lebih tinggi daripada kata lelaki. Ah, masa?!! Ya. Jelasnya begini.

  • Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti 'tuan', 'orang yang mahir/berkuasa', atau pun 'kepala', 'hulu', atau 'yang paling besar'; maka, kita kenal kata empu jari 'ibu jari', empu gending 'orang yang mahir mencipta tembang'.
  • Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu 'sokong', 'memerintah', 'penyangga', 'penjaga keselamatan', bahkan 'wali'; kata mengampu artinya 'menahan agar tak jatuh' atau 'menyokong agar tidak runtuh'; kata mengampukan berarti 'memerintah (negeri)'; ada lagi pengampu 'penahan, penyangga, penyelamat', sehingga ada kata pengampu susu 'kutang' alias 'BH'.
  • Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya 'sapaan hormat pada perempuan', sebagai pasangan kata tuan 'sapaan hormat pada lelaki'.
Prof. Slametmuljana (1964: 61) pun mengakui bahwa kata yang sekarang sering direndahkan, ditempatkan di bawah wanita, ini berhubungan dengan makna 'kehormatan' atau 'orang terhormat'. Tetapi, yang dilihatnya di masyarakat lain lagi. Maka, ia pun tidak mampu menyembunyikan keheranannya berikut:
"... Yang agak aneh dalam tjara berpikir ini ialah apa sebab perempuan tempat kehormatan itu semata-mata diperuntukkan bagi wanita, sedangkan hormat dan bakti setinggi-tingginya menurut adat ketimuran djustru datang dari kaum wanita, terhadap suami."
Itulah sebabnya, tidak sedikit aktivis gerakan perempuan baik yang di bawah payung lembaga pendidikan formal maupun yang lebih suka malang melintang di alam bebas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih suka memilih kata perempuan daripada wanita untuk organisasi mereka. Misalnya Solidaritas Perempuan (Jakarta), Yayasan Perempuan Merdika (Jakarta), Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK, Jakarta), Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA, Yogyakarta), Sekretariat Bersama Perempuan Yogya (Yogyakarta), Forum Diskusi Perempuan Yogya, Suara Hati Perempuan, Kelompok Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), dan Gerakan Kesadaran Perempuan--sekadar menyebut beberapa contoh. Menarik untuk dicontohkan di sini bahwa nama jurnal keperempuanan terbitan LIPI adalah "Warta Studi Perempuan" dan bukan *Warta Studi Wanita. Sementara itu, jika dahulu "Women Study" diterjemahkan menjadi "Kajian Wanita", sekarang muncul saingan baru, "Studi Perempuan".
Dari sudut sejarah pergerakan nasional pun, kata perempuanlah yang telah menyumbangkan kontribusi historisnya. Kita ingat, kongres pertama organisasi "lawan tanding lelaki" ini dinamainya "Kongres Perempoean Indonesia Pertama, yang berlangsung pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta (Rahayu, 1996).6) Dalam Kongres I ini disepakati bahwa persamaan derajat hanya dapat dicapai bila susunan masyarakatnya tidak terjajah. Langkah organisasi pertama yang dilakukan adalah membentuk "Perserikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia" (PPPI). Bahwa dalam perjalanan sejarah lahir Kowani, Perwari, Perwani, KNKWI, BMOIWI, Ikwandep perhatikan, selalu ada huruf /W/ setidaknya itulah jejak-jejak historis lingual bahwa kita lebih memilih "wanita", dan bukan "perempuan", sebab yang kita kehendaki bukan perempuan mandiri, melainkan perempuan penurut. (Silahkan pembaca menjawab sendiri, apakah setelah lebih dari setengah abad kemerdekaan ini kaum perempuan telah mencapai persamaan derajat, seperti impian Kongres I).
Sejak kemerdekaan, seperti disebut di atas, derap Kongres Perempoewan Indonesia sudah (di)musnah(kan) dari peredaran. Muncul pengganti-penerusnya: Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sejak menjelang kemerdekaan, yang relatif lunak, umumnya terdiri atas para istri pegawai. Mungkin sejak inilah wanita secara resmi menggeser perempuan. Sejak saat itu setiap partai-partai politik di Indonesia juga mempunyai anak organisasi wanita, bukan perempuan, misalnya Wanita Demokrat dan Gerakan Wanita Marhaen (PNI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani, PKI), dan pasca-1965 ada Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari), serta Dharma (1974) (Rahayu, 1996: 30-31).
Perempuan Disembah-sembah, Itu Dulu ...
Dahulu sesuatu yang bersifat perempuan dihormati, dijunjung tinggi. Dalam hal ini kita tak lagi mempersoalkan perbedaan istilah wanita, perempuan, betina, atau pun ibu, bunda, mbaktu, biyung, mama, dewi, putri, ratu. Kita bicarakan hal itu secara global saja. Dahulu kaum ibu dikatakan sebagai "tiang masyarakat", diluhurkan sebagai "ratu kehidupan", dan dimitoskan sebagai "danyang kesuburan alam semesta", serta disembah-sembah  sebagai "penentu awal kehidupan manusia di bumi".
Zaman sekarang kaum ibu selalu dituding sebagai sumber kesalahan, terutama berhubungan dengan kenakalan anak-anak. Bukankah mendidikan anak itu tugas seorang ibu, bukan bapak? Karena perempuan mengalami domestifikasi peran, bila terjadi kericuhan keluarga, ibulah yang layak dikorbankan sebagai kambing hitam. "Ini gara-gara terlalu kau manja," atau juga "coba, kalau kamu mendidiknya benar, anak kita tidak binal seperti ini," begitu kata ayah. Dahulu, nasib ibu tidak seburuk ini, tidak dituding sebagai biang kerok perkara. Dia sangat dibela, dibersihkan dari tuduhan. Posisinya sebagai peletak awal kehidupan manusia sangat menentukan, karena dari guwagarba rahimnyalah, manusia di bumi ini berasal. Oleh karena itu, jika ada anak yang nakal, ibu akan dibela, sehingga ungkapan yang muncul adalah "Bukan salah bunda mengandung" dan bukan ungkapan "*Bukan salah ayahnda menghamili" atau "*Bukan salah ayahnda membuahi". Ini bukti pengakuan bahwa mengandung itu lebih bernilai tinggi daripada menghamili (Kweldju, 1991). Karena yang mengandung itu biasanya ibu, ibulah yang lebih diharga.
Pelesetan-pelesetan di masyarakat terhadap kata-kata tertentu juga menggambarkan seberapa jauh nilai dominasi pria terhadap wanita ini hendak menandingi pemahaman masyarakat terhadap hakikat suatu kata. Semula, berdasarkan etimologi rakyat (jarwodosok, keratabasa) Jawa, kata "garwo", misalnya, dipersepsi sebagai "sigaraning nyowo" (belahan jiwa). Di sini, kedudukan seorang istri cukup terhormat, sejajar, sama, segaris, dan komplementer dengan suami; tidak ada nuansa dominasi dan subordinasi antargender. Memang, garwo adalah kata yang netral, egaliter, tidak memihak salah satu jenis kelamin (bias gender). Ia bisa mengacu baik kepada "garwo jaler" (suami) maupun "garwo estri" (istri). Akan tetapi, selanjutnya inilah kurang ajarnya pemahaman terhadap kata garwo telah dipelesetkan sebagai "sigar tur dowo" (terbelah dan lagi panjang), sesuatu yang bisa mengundang kesan porno dan pelecehan. Tidak sulit ditebak siapa pelaku pemelesetan ini: pastilah dari barisan pria.
Tidak hanya persepsi kultural masyarakat, agama pun meletakkan ibu pada posisi sangat terhormat. Dalam Islam, misalnya, ada hadis yang sangat terkenal berkenaan dengan ini, yakni "Surga itu di bawah telapak kaki ibu". Maka, menurut pandangan ini, tempat berbakti adalah ibu, ibu, dan ibu, kemudian baru ayah. Mungkin karena kecemburuan religiusitas-gender, di masyarakat kami pernah mendengar pelesetan sinis terhadap ini tentu saja dari kaum bapak.7) Surah paling Al-Fatihah, saripati dari semua surah dalam Kitab Suci Quran, misalnya, disebut "Ummul Qur'an" dan bukan "Abul Qur'an" (Nadjib, 1996). Dalam agama lain pun kurang lebih sama. Begitulah ...
Perempuan Indonesia, Akan ke Manakah Anda?
Di sini jelas sekali bahwa jika yang kita maksudkan adalah sosok yang mengalah, rela menderita demi pria pujaan, patuh berbakti, maka pilihlah kata wanita. Maka, yang tepat tetaplah "Darma Wanita" memang dimaksudkan untuk berbakti. Tetapi, jika kita berbicara soal peranan dan fungsinya, soal pemberdayaan kedudukan, soal pembelaan hak asasi, soal nasib dan martabatnya, tidak ada jalan lain, gunakan kata perempuan, semisal "peranan perempuan dalam perjuangan", "gerakan pembelaan hak-hak perempuan pekerja". Setuju?
Bisa dipastikan siapa pun akan ragu, jika hati harus lebih berpihak pada perempuan daripada pada wanita. Justru, itulah bukti hebatnya hegemoni patriarki dalam masyarakat mana pun, sehingga jangankan yang menguasai, yakni pria, yang dikuasai pun, yaitu wanita, merasa takut, khawatir, bahkan merasa menikmati "penguasaan" itu. Bagi kelompok terakhir ini, hegemoni kekuasaan pria akan dinikmatinya sebagai "perlindungan" dan "kasih sayang". Ditindas kok tidak melawan. Mengapa? Sulit menjawabnya. Mungkin kaum wanita tergolong makhluk ajaib, yang suka menyiksa diri, menyimpan samudra kesabaran luar biasa, suka berkorban, memang karena tak berdaya, atau jangan-jangan mereka berjiwa masokistis, suatu jenis kenikmatan dalam penindasan. Jiwa mereka berada dalam situasi terpenjara (captive mind). Akhirnya, Perempuan Indonesia, terserah saja, Anda mau ke mana ...?
Catatan


  • Orde Baru merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban (Pancadarma): (1) wanita sebagai istri pendamping suami, (2) wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda, (3) wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga, (4) wanita sebagai pencari nafkah tambahan, dan (5) wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat. Perhatikan, di sini yang dinomorsatukan adalah kewajiban istri sebagai istri mendampingi sang suami tercinta. Sementara, urusan bergerak di sektor publik (di luar rumah) menduduki nomor bungsu, artinya tidak dipentingkan. Ini terjadi sebab ada anggapan bahwa di luar rumah itu urusan lelaki, sedang di dalam rumah (sektor domestik) inilah tempat tepat wanita. Periksa: Binny Buchori & Ifa Soenarto, "Mengenal Dharma Wanita". Mayling Oey-Gardiner dkk. (ed.), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini (Jakarta: PT Gramedia, 1996) hal. 172-193); juga: Ruth I. Rahayu, "Politik Gender Orde Baru: Tinjauan Organisasi Perempuan Sejak 1980-an. Prisma XXV/5, Mei 1996: 29-42.

  • Metatesis adalah gejala perubahan (pertukararn) letak huruf, bunyi, atau sukukata dalam suatu kata (Kridalaksana, 1993:136). Misalnya rontal menjadi lontar, sapu<-->usap; dalam bahasa Jawa misalnya kelek<-->lekek 'ketiak'. Dalam bahasa Inggris ada flim<-->film, brid<-->bird (Jack Richards, John Platt, dan Heidi Weber, 1987: 176), aks<-->ask (Crystal, 1985: 194).

  • Proses perubahan bunyi konsonan (kontoid) dalam bahasa-bahasa di Nusantara dirumuskan dalam hukum-hukum perubahan bunyi. Salah satunya adalah perubahan [w] dalam bahasa Jawa atau Jawa Kuno menjadi [b] dalam bahasa Melayu (Indonesia) (Slametmulyana, 1964; Wojowasito, 1965; Keraf, 1987). Misalnya awu-->abu, watuk-->batuk, sewelas-->sebelas, wulan-->bulan.

  • Raja, sultan, adipati, bangsawan, pada zaman dahulu umumnya memiliki banyak istri dan selir. Misalnya, Paku Buana IV (Surakarta) mengumpuli 25 istri dan selir; Hamengku Buwono II (Ngayogyakarta Hadiningrat) menyimpan 33 istri dan selir. Tujuan memiliki banyak wanita adalah menghindari kejahatan seksual dan mencapai konsolidasi kekuasaan politik untuk mengesankan bahwa pemimpin itu lelaki luar biasa sakti mandraguna (super human). Periksa: G. Moedjanto, "Selir", Basis, Januari 1973; juga Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Kanisius, 1987).

  • Tentang konsep degradasi harkat martabat gender feminin, baca: D. Jupriono, "Bahasa Indonesia Bahasa Lelaki", FSU in the Limelight edisi nomor ini juga.

  • Lih. Ruth Indiah Rahayu, Opcit., hal. 29-42. Dalam artikelnya, dijelaskan bahwa perempuan dan gerakannya telah lahir jauh sebelum kemerdekaan RI. Aktivitas pergerakan perempuan terus berjalan hingga mencapai puncaknya pada 1965. Sejak itu berlakulah proses domestifikasi (pe-rumah-an) "perempuan" di segala bidang, menjadi "wanita". Tetapi, bersamaan dengan itu, bermunculan juga berbagai organisasi "keras" perempuan bergabung dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

  • Pelesetan itu demikian. "Surga ada di bawah kaki ibu", katanya, "berlaku bagi seorang anak". Bagi seorang ayah, lain lagi, yaitu "Surga itu ada di antara kedua kaki ibu"; "Ooo ... itu sih nerakanya. Setannya ya kita-kita ini. Ha ha ha ...". Bahwa itu hanya kelakar, itu jelas. Tetapi, di sisi lain, ini mungkin saja juga karena tidak tahu (menyadari) bahwa yang mereka pelesetkan adalah sabda Rasul.

  • Senin, 20 Desember 2010

    Ketamakan Milik Siapa

    Oleh: Sonny Wibisono *

    “Aku rasa hidup tanpa jiwa, orang yang miskin ataupun kaya sama ganasnya terhadap harta.”
    -- Kantata Takwa dalam ‘Nocturno’

    NAMANYA Gayus. Umurnya 30 tahun. Namanya beken saat ini. Dia menjadi salah satu aktor dari penggelapan pajak yang merugikan negara hingga belasan miliar rupiah. Gayus, pegawai Kantor Pajak, bermain tak sendiri. Ia bagian dari sindikat, yang melibatkan para aparat hukum. Padahal dari kabar di media, kita tahu gaji Gayus tidaklah kecil. Untuk golongan IIIA, ia mengantongi sedikitnya 12,1 juta per bulan. Itu sudah termasuk gaji pokok, ditambah tunjangan sana-sini. Tak hanya itu, istrinya juga bukan orang rumahan.

    Namanya Tourre. Umurnya tak jauh dari Gayus, 31 tahun. Jabatan mentereng di usia muda disandangnya: Vice President Goldman Sachs. Satu perusahaan perbankan paling beruntung sepanjang sejarah Wall Street. Tourre ditenggarai otak dibelakang diterbitkannya CDO (collaterlized debt obligation) yang menggunakan aset-aset kredit berbau credit suprime sebagai aset dasarnya. Pada 16 April lalu, Goldman Sachs dan Tourre dituding oleh pengawas pasar modal AS, Securities and Exchange Commission (SEC) telah melakukan penipuan. Investor, menurut SEC, diperkirakan telah dirugikan sebesar US$ 1 miliar. Goldman dituduh mengelabui investor dan tidak memberikan informasi yang benar kepada para investornya.

    Gayus dan Tourre. Sama-sama muda dan terkenal. Sama-sama dituduh curang dan serakah. Bedanya, Gayus terbukti bersalah dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Ia jelas mengkorupsi uang negara. Tourre masih perlu dibuktikan. Tapi semua tudingan dan kesalahan telah diarahkan ke perusahaan dan dirinya.

    Gayus tidak dipanggil DPR, penegak hukumlah yang mengusutnya. Tourre belum, ia harus menjelaskannya di depan Senat. Ketamakanlah yang membawa Gayus (dan mungkin Tourre) pada petualangan yang mengantarkannya pada persoalan hukum. Tidak saja Gayus (dan Tourre) yang merugi, namun rentetan orang dekatnya, termasuk anak, istri, dan keluarga besarnya ikut tercoreng malu. Bahkan lembaga yang menaungi mereka terkena getahnya.

    Perkara korupsi boleh dibilang semuanya disulut oleh ketamakan. Hal itu yang mendorong pelakunya untuk menambah kekayaannya apa dan bagaimanapun caranya. Membeli mobil terbaru dengan menilap uang negara. Padahal dari kantor sudah tersedia fasilitas serupa, misalnya. Pun demikian dengan tempat tinggal. Sejatinya dengan menempati rumah yang layak, tak perlu bagus pun, manusia bisa hidup dengan nyaman. Namun nyatanya, lagi-lagi, ketamakan mendorongnya pergi jauh hingga pada sebuah ketidaksadaran telah melakukan berbagai kesalahan.

    Tamak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti serakah, rakus. Sudah banyak cerita tentang kerakusan manusia. Kharun, kisah dari negeri padang pasir misalnya. Karena rakus dan kikirnya, dia dan seluruh hartanya tenggelam. Itu sebabnya, temuan harta di lautan atau di mana saja sering kita sebut sebagai harta karun.

    Ada juga legenda lokal. Kita mengenal Pak Bagendit yang kaya raya. Namun kikirnya gak ketulungan. Dia pelit. Terhadap orang miskin sekalipun. Ketamakannya menjadi visi hidupnya. Harta menjadi panglima hidupnya. Hingga akhirnya, seorang miskin yang sakit hati, menancapkan tongkat di rumahnya. Dari situ muncul air, yang kemudian menggenangi rumah dan kampungnya. Tanah itulah kemudian dikenal sebagai Situ Bagendit.

    Inilah bahaya Pleonexia, tamak yang berlebihan. Tapi benarkah ketamakan hanya milik orang mampu saja? Don McClanen bahkan menganggap kondisi yang disebut Pleonexia telah menguasai Amerika. Katanya, ”Pleonexia is an insatiable need for more of what I already have, and it has penetrated our culture to the point where people are angry at the poor.”

    Nyatanya memang, ketamakan tak melihat status sosial. Di stasiun kereta beberapa hari silam, seorang supir angkutan kota tetap memanggil penumpang untuk naik ke mobilnya. Padahal di dalamnya boleh dikata sudah terisi penuh oleh penumpang. Kalaupun dipaksa, malah membuat tidak nyaman penumpang lainnya. Penumpang yang sudah sesak dan kepanasan memintanya untuk segera berangkat. Namun dengan ketus, sang sopir menjawab, ”ah, masih ada satu lagi.”

    Terdengar pelan sumpah serapah dari beberapa penumpang. Setengah berteriak, satu orang berujar bernada memprovokasi, ”Kelamaan, kita keluar aja cari yang lain!” Mendengar ajakan tersebut, tanpa dikomando lagi, sontak para penumpang yang telanjur sudah lama menunggu berhamburan meninggalkan angkot itu. Hasilnya, angkot itu kosong melompong. Tinggal si supir yang melongo.

    Andai saja dia mau jalan, sudah tentu rezeki menjadi miliknya. Rezeki yang halal untuk anak dan istrinya di rumah. Sedikit rezeki teramat berarti bagi kelangsungan keluarganya. Namun apa daya, ternyata ketamakan membuat dia membuang rezeki di depan mata. Ini ibarat peribahasa lama, ’mengharap hujan dari langit, air di tempayan dibuang.’

    Ketamakan pada akhirnya hanya menjadi panglima yang membimbing pada ketiadaan. Nafsu besar mengumpulkan harta lebih baik ditinggalkan. Sekecil apapun, bersyukurlah terhadap rezeki yang diperoleh. Dan cukup pula untuk berbagi dengan sesama yang kekurangan. Bukan begitu, kawan?

    *) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media Komputindo, 2009