Kekerasan Seksual pada anak

Istilah pacaran sungguh sangat tidak asing di masa sekarang ini. Bahkan anak usia SD pun sudah nampak sangat fasih bicara soal pacaran. Mungkin ini akibat maraknya lagu menyebutkan kata cinta, pacar, sayang, dan lain sebagainya

Surat Untuk Nona Rambut Tabongkar 2

Teruntuk beta pung Nona rambut tabongkar tersayang... Apa kabar, sayang? Entah ini hari yang ke berapa katong su sonde saling bertegur sapa. Ya. Bukan waktu yang lama memang, tapi su cukup untuk membuat beta merindukan senyum dan sapaan hangat dari nona.

Kamu pasti tau kenapa ini tercipta....

SEPI bukan berarti HILANG... DIAM bukan berarti LUPA... JAUH bukan berarti PUTUS... SENDIRI bukan berarti MATI... Yang pasti saat MATI, tentu SENDIRI....

Pada Suatu Hari....

Pasti akan ada satu hari. Di mana kamarku mendadak senyap. Tanpa celotehan dan suara nada dering ponsel, serta tak ada lagi suara dari putaran kipas angin laptop.

Belajar dari Lentera Alam Learning Community for Women and Children

Kemarin perempuan muda, cantik dan bersahaja itu berkata pada saya, "tak harus mengeluarkan banyak uang untuk bisa membahagiakan dan menyenangkan anak-anak

Selasa, 31 Desember 2013

Lelaki Pemikul Terompet vs Lelaki pengusir Terompet

sumber : google

Deretan terompet berbaris, macam prajurit gagah siap berperang. Mendatangi kota, jalanan membeku kelabu, meredam senyum dusun. Terompet membawa harapan dalam tiap tiupan. Jika ada bocah meminta keriangan di hari-hari mendung akhir tahun.

Lelaki pemikul terompet di punggung, mungkin tak pernah menyangka, terompet membawa serta doa perempuan dan anak-anak di beranda rumahnya.  Peluh dan airmata menjelma kilau di tiap nyala warnanya. Aku bertanya kepada malam, sejauh apa gerimis bisa mengantar harapan pulang.

Lapar dan hujan menerpa, terompet berkerudung plastik, tak boleh terkena air, harus tetap tegak sampai detik terakhir yang akan dihitung waktu pergantian tahun. Aku ragu, jika doa tak sungguh teguh menyertai, mungkinkah terompet bisa bertahan,  mewujudkan mimpi baru di tahun berikut.

Kota butuh terompet, butuh lelaki dan perempuan yang mau menggunting dan merekat kertas bekas jadi kerucut kokoh berwarna cantik, mampu berbunyi nyaring, lebih dering dari bunyi  panggilan penting di semua saku, lebih genting dibanding suara petir yang mungkin menghadang pesta kemenangan di depan mata.

Aku menduga banyak kota seperti kita, tak tahu benar kalau butuh selama bisa didapat. Selama  terompet masih datang menumpang bahu dan punggung lelaki tak penting, kota dan kita tak akan pernah tahu terompet dan lelaki yang membawanya ke kota adalah penting. Itu sebabnya aku melihat segerombolan lelaki lain yang merasa dirinya penting di kotaku, mengusir lelaki pembawa terompet, menyingkirkan harapan yang digelar terompet di jalan-jalan kota.

Peraturan, kata para lelaki pengusir terompet kepada para lelaki yang memikul terompet di punggungnya. Pengusir terompet mengendarai truk bertubuh tembaga, kusam dan asam dipandang. Mungkin truk merasa iri dan dengki pada terompet yang seksi, berwarna cerah, dan berumbai-rumbai. Aku hanya bisa melambai, tidak dengan tanganku, ketika para lelaki pembawa terompet lari berhamburan dari jalan-jalan kota, sembunyi di gang-gang dan tikungan. Seperti perempuan dan anak-anak dusun, aku masih menaruh harapan pada terompet.

Seperti perempuan dan anak-anak dusun, aku percaya terompet tak akan menyerah. Serupa prajurit paling tangguh, terompet akan kembali ke jalanjalan kota membawa harapan, menawarkan keriangan seharga lima ribu rupiah bagi yang siapa saja yang berani bergembira, meniupkan keriangan di penghujung waktu.

ilustrasi sumber : google

Setelah pesta kemenangan usai, tahun berganti, lelaki pembawa terompet kembali pulang kepada dusun, kepada perempuan dan anak-anaknya. Tanpa terompet dipunggungnya tentu. Prajurit yang baik hanya akan pulang dengan kenangan, dan kemenangan yang siap ditukar dengan segala impian.

“Apa kau tahu, di pesta kemenangan, para lelaki pengusir terompet akan mencari lelaki pembawa terompet, bahkan rela menukar lima ribu rupiahnya dengan sebuah terompet untuk menyenangkan perempuan dan anak-anaknya ?” tiang listrik tiba-tiba berbisik padaku, mengedipkan sinarnya sejenak, benar sejenak saja, segera tegak kembali menerangi jalanjalan kota*

Rabu, 25 Desember 2013

Panggil Dia Maria Magdalena Rubinem

Catatan Kaki Jodhi Yudono
 
Maria Magdalena Rubinem saat berusia 25 tahun/dok pribadi

Ini kali saya hendak bercerita tentang seorang seniman tua. Dia seorang perempuan yang hanya pernah saya dengar namanya, namun tak pernah sekali pun berjumpa dengannya. Sekilas saya memang sempat mendengar suaranya saat saya masih kanak-kanak. Kini, saya hendak menjumpainya secara langsung. Siapa tahu, saya masih bisa menikmati sisa-sisa keindahhan suaranya.
Nama lengkapnya Maria Magdalena Rubinem, karena dia terlahir sebagai seorang Katolik. Tapi sehari-hari dia cukup dipanggil Rubinem saja.
Rubinem, ya mbah Rubinem, sebab dia memang perempuan Jawa yang kini sudah 88 usianya. Rubinem, menurut KTPnya lahir di Yogyakarta pada tahun 1927. Namun menurut pengakuan perempuan sepuh itu, sebetulnya dia lahir pada tahun 1925.
Saya menemuinya pada malam hari, ketika warung yang sekaligus dijadikan sebagai tempat tinggalnya telah tutup. Mbah Rubinem hanya menyisakan pintu warungnya terbuka setengah untuk menunjukkan penghuninya belum berangkat tidur.
Malam itu saya memang bermaksud menemuinya, sekedar ingin "sowan" sebagai rasa hormat saya kepada beliau yang telah berjasa di dunia seni Indonesia. Setidaknya, dia pernah menghibur banyak orang melalui keindahan suaranya.
Rubinem. Ya, dialah pesinden yang cukup kondang di Yogyakarta dan sekitarnya antara tahun 1948 hingga awal 80an. Maklumlah, sebab antara tahun 1948 sampai tahun 1972 Rubinem menjadi pesinden Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta.
Ketika saya datang, Mbah Rubinem langsung menyalami saya dengan hangat. Lalu katanya, saya tak boleh melakukan apapun selain makan malam terlebih dahulu untuk mencicipi gudegnya. "Sampun kulo siapke, monggo dahar rumiyin," kata Rubinem dalam bahasa Jawa halus yang artinya, 'sudah saya siapkan, silakan makan dahulu.'
Saya pun dengan hikmat menikmati gudeg olahan Mbah Rubinem yang garing dan hitam kecoklatan. Di piring yang saya pegang, Rubinem menambahkan krecek, areh, daging ayam, dan semur telur ayam. Hmmm... rasanya nikmat, perpaduan antara manis dan pedas menimbulkan sensasi yang ramai di mulut.
"Kados pundi rasanipun?" Mbah Rubinem bertanya, bagaimana rasa gudegnya.
Saya pun mengacungkan ibu jari sebagai pertanda masakan Rubinem lezat.
Sehabis makan malam, saya pun mulai bertanya berbagai hal, terutama perjalanan dan pengalaman hidup Mbah Rubinem.
***
Rubinem belajar nyinden dari para seniman di Keraton Yogyakarta, di antaranya eyangnya seniman Djadug, diakui rubinem sebagai gurunya. Setelah itu, ia terjun langsung manggung sejak 1942. Meski tak sekolah, ia bisa membaca dan menulis. Akhirnya, ia bekerja di RRI Yogyakarta pada 1948, seusai agresi kedua Belanda. “Saya menjadi pemain apa pun pada acara yang berbau budaya Jawa, entah dagelan, ketoprak, uyon-uyon, dan wayang,” tutur Rubinem.
Sejak menjadi pesinden tetap di RRI Yogyakarta itulah, nama dan suara Rubinem mulai dikenal luas. Lantunan suaranya kian mantap. Akhirnya, sebulan sekali, ia dipercaya pentas di RRI Jakarta. Rubinem pun manggung berkali-kali di Istana Negara, sejak 1951, di hadapan Presiden Soekarno.
Karena kepopulerannya itulah, Rubinem pun melanglang ke berbagai kota di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, hingga Banyuwangi. Bagi Rubinem, tahun 1960-an merupakan zaman keemasannya. Sebulan ia bisa mendapatkan tanggapan sampai 40 kali.
“Kulo nate angsal honor Rp 500 ribu. Meniko honor ingkang inggil wekdal samanten," tutur Rubinem yang artinya, dirinya pernah mendapat honor Rp 500 ribu, dan itu merupakan honor yang sangat tinggi untuk sinden pada saat itu.
Dari hasil manggung, ia memiliki dua rumah, beberapa petak tanah, mobil, emas-berlian, dan seperangkat gamelan. Tak ada waktu untuk diam. Malam manggung, siang hari ia masih mempunyai kesibukan untuk menjadi pedagang emas-berlian di Pasar Beringharjo, Yogyakarta.
Setelah mengalami banyak kesulitan dalam perkawinan, akhirnya ia menikah dengan Agustinus Subardi, duda berputera satu. Rupanya bahtera rumah tangga Rubinem menjumpai banyak gelombang. Berbagai persoalan melanda kehidupan pribadinya. Akhirnya, ia memilih menjanda. Karena tidak punya keturunan, Rubinem mengangkat tiga anak yang semua dididiknya sampai mandiri dalam berumah tangga.
Jika kini Rubinem membuka warung nasi gudeg di kompleks Terminal Jombor, Sleman, awalnya hanyalah sekadar untuk pengisi kesibukan. Hartanya sebagai mantan sinden kondang masih cukup untuk menghidupi diri, yakni berupa dua rumah dan sepetak tanah yang dikontrakkan, serta satu mobil untuk disewakan.
Sayangnya, perjalanan dan perjuangan hidup Rubinem harus mulai dari awal lagi. Pada 2008, meski atas persetujuannya, anak menantunya menjual seluruh harta-bendanya dan laku Rp 270 juta, untuk investasi di sebuah perusahaan. Ternyata, investasi itu tipu-muslihat belaka.
“Saya bisa stres jika memikirkan itu kembali. Justru dari peristiwa itu, saya semakin mendekatkan diri pada Tuhan, untuk merenungkan perjalanan hidup saya. Akhirnya, saya mendapatkan kepasrahan. Harta saya habis, karena itu bukan rezeki saya. Saya menumpuk harta, selain hasil manggung, juga menjadi rentenir saat menjadi pedagang emas dulu,” akunya.
Baginya, tahun 2008 merupakan tahun petaka sekaligus penghiburan. Tahun itu hartanya habis, namun imbalannya, ia mendapatkan penghargaan dari Persatuan Dalang  Indonesia (Pepadi) Pusat Jakarta. Ia menerima penghargaan Anindya Karya Waranggana. Pepadi bekerjasama
dengan Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian Jakarta memberikan penghargaan kepada Rubinem atas pengabdian dan kesetiaannya melestarikan kesenian tradisi.
Di kios berukuran 21 m2, Rubinem menjalani kehidupannya dalam keikhlasan. Di tempat itu, dia hidup bersama salah seorang anaknya dan seorang cucunya.
“Cucu saya itu sudah besar, dan syukurlah, suka bantu-bantu di warung di sela-sela kesibukan kuliahnya.
Sebisa mungkin, saya akan membiayai kuliahnya,” tekad Rubinem.
Hari-harinya kini banya diisi dengan memasak gudeg untuk para pelanggannya yang sudah ketagihan masakan gudegnya yang kering dan gurih. Bicara soal pelanggan, Rubinem punya pengalaman buruk dengan salah satu pelanggannya.
Ini bermula seusai dirinya mendapat penghargaan seni dari Persatuan Dalang Indonesia (Pepadi) Pusat Jakarta
pada tahun 2008. Ia beroleh hadiah berupa uang senilai Rp 10 juta. Namun setelah dikurangi pajak dan lain-lain, ia membawa pulang uang Rp 8 juta. Sebagian uang yang diperoleh dari penghargaan tersebut dibelikan sepasang giwang berlian. Rubinem dengan senang mengenakan giwang tersebut di warung. Namun diam-diam, seorang perempuan yang juga pelanggannya tertarik untuk memiliki giwang yang dikenakan Rubinem.
Pada suatu hari, saat warung sepi, perempuan jahat itu pun masuk ke warung Rubinem. Begitu dilihatnya sang pesinden sedang sendiri, ditubruknya perempuan itu seraya memaksanya untuk menyerahkan giwang yang pernah dilihatnya. Rubinem yang segera menyadari dirinya hendak dirampok, segera berteriak minta tolong. Perempuan perampok yang sudah berhasil menelikung dan memukuli Rubinem itu pun segera lari.
Rubinem ya Maria Magdalena Rubinem. Kontras benar kehidupannya antara dahulu dan kini. dulu nama Rubinem terkenal tak terkira di sekitar Yogyakarta. Dia bukan saja sinden yang memiliki suara dan cengkok yang menarik, tapi juga memiliki tubuh dan wajah yang aduhai. itulah sebabnya, tak heran jika dirinya dipuja oleh para lelaki yang menggemari sosoknya.
"Tapi saya bukan perempuan gampangan. Saya susah ditemui oleh penggemar saya, sebab saya nggak pernah mau dijemput oleh pengundang. lebih baik saya datang dan pulang sendiri untuk menghindari fitnah," ujar Rubinem.
Rubinem tidak pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Termasuk harta benda yang pernah dikumpulkan di kala muda dan kini telah habis.  Dia juga tak menyesali bahwa kini dirinya tak lagi popular, dan bahkan tak dikenal.
Jika ada yang dia sayangkan, adalah karena RRI, institusi tempatnya pernah bekerja juga ikut-ikutan melupakan dirinya. Padahal, Rubinem ingin benar datang kembali ke RRI, sekedar untuk mengenang bahwa dirinya pernah menjadi saksi perjalanan radio milik pemerintah itu.
“Saya berharap mereka masih ingat saya, saya ingin kalau RRI ulang tahun saya diundang. Tapi, sejak saya keluar di tahun 1972 sampai sekarang, saya belum pernah diundang. Saya suka sedih kalau mengingat ini.” 

sumber ; tribunnews.com

Selasa, 24 Desember 2013

Natalku dan Nakalmu...

Mereka bilang ini hari natal
Hari saat anak-anak bengal menyesal
Tak dapat hadiah
Dikejar mahluk hitam menakutkan

Hari ini natal
Hari saat aku yang bukan anak-anak tak pantas kesal
Walau semua dongeng santa claus ternyata hanya khayal
Dan pohon natal sudah terlalu mahal

Natal
Cuma rangkaian sebuah kata dengan dua huruf ‘a’
Hingga jika diucap terdengar riang
Seperti cerahnya ruang hati yang dulu dipenuhi mimpi

Natalku
Selalu penuh ingatan tentangmu
Yang terlalu nakal menempati tiap jengkal angan
Sampai aku begitu penuh olehmu, tak ada lagi tempat bagi lain hal

Untukmu
Tak sedikitpun ada ragu sebelum kutukar semua natalku
Dengan nakalmu yang buatku jadi anak bengal tanpa setitikpun sesal

Minggu, 22 Desember 2013

I love my Evlyn Lea Jacob - Balukh....

Mama itu... Paling susah kalo dideskripsikan dgn kata-kata. But, Happy mother's day! Sayangi mama kalian selagi ia masih ada untuk kalian, bagiku hari ibu adalah setiap hari..
I love my Evlyn Lea Jacob - Balukh ♥

Buat kamu, maaf ada 2 sms ucapan yang masih pending x_x
Selamat hari ibu ya, terberkatilah semua ibu, titip salam, cium dan peluk buat ibu di batam ({}) ({})

mungkin lagu bang Iwan Fals ini bisa mewakili perasaanku saat ini....
ini liriknya :

Ibu by Iwan Fals

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu

Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah

Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas...
Ibu
Ibu

Ingin kudekap dan menangis dipangkuanmu
Sampai aku tertidur bagai masa kecil dulu

Lalu do'a-do'a baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas...
Ibu
Ibu

Kamis, 19 Desember 2013

Kamu pasti tahu kenapa ini tercipta....

SEPI bukan berarti HILANG...
DIAM bukan berarti LUPA...
JAUH bukan berarti PUTUS...
SENDIRI bukan berarti MATI...
Yang pasti saat MATI, tentu SENDIRI....

Tapi....
Lihat, aku masih di sini...
masih punya 2 mata walau tak bisa melihatmu lagi...
masih punya 2 tangan walau tak bisa menyentuhmu lagi...
masih punya 2 kaki walau tak bisa berjalan bersamamu lagi...

Tapi...
aku masih punya 1 lidah yang selalu mengucapkan doa untukmu...
aku masih punya 1 hati yang selalu mengingat dan menyayangimu....

Seperti yang sudah pernah kukatakan padamu :
aku sudah memutuskan
Menjadi orang terbodoh di mata dunia,
dibanding harus berlagak TULI pada satu-satunya hati yang kupunya...

aku lebih memilih SEPI, DIAM, JAUH dan SENDIRI,
daripada harus MENIPU satu-satunya hati yang kupunya...

aku rela kehilangan teman-teman baikku,
daripada harus terus menerus BERTENGKAR dengan satu-satunya hati yang kupunya.....

dan pada akhirnya....
walau kamu tak mungkin membaca ini,
tapi kamu pasti tahu kenapa ini tercipta....






Mama....

Mama…
Sakit rasanya melihatmu lemah
Tergeletak lemas
Dalam dinginnya dinding rumah sakit

Mama…
Sedih rasanya
Melihat infus menggantung
Mengalir menuju darahmu

Mama…
Maafkanlah diriku
Yang telah berdosa
Dan sering menyakiti dirimu

Mama…
Cepatlah pulang
Aku sayang kepadamu
Aku selalu berdoa
Agar dirimu selalu sehat
Dan dilindungi oleh-Nya

Kupang, 7 Desember 2013
@ruang tunggu ICCU RSUD Prof. Dr. W.Z. Johanes Kupang


Selasa, 17 Desember 2013

Hello December....Mumumu

Pada setiap perjumpaan, ada perpisahan yang selalu siap datang kapan saja. Di tengah-tengah suasana yang tampak serba sempurna itu, seseorang yang dulu sempat bertanya tentang cita-cita saya, tiba-tiba mundur teratur dan hilang perlahan. Padahal cita-cita utama saya adalah membuktikan bahwa jawaban saya itu bukan hanya sekadar kalimat klise dan kalau berhasil mewujudkannnya, maka akan saya ajak dia untuk merayakannya sebagai rasa syukur dan terima kasih.
But, well… Life must go on…
Satu pelajaran yang akhirnya benar-benar saya pahami selama setahun ini adalah meskipun saya tampak seolah berjalan sendirian, tapi saya tak pernah benar-benar sendirian. Masih ada pendengar yang lebih baik, yang siap mendengarkan segala cita-cita dan harapan saya tiap waktu, bahkan tak segan-segan untuk mewujudkannya. Ia, yang duduk di atas sana, yang selalu mengawasi juga melindungi saya dan seluruh anak-Nya di dunia… :)
Have a great December! :)

Minggu, 15 Desember 2013

Bisakah...??

Pagi menelan bintang dalam terang, mungkinkah mimpi terukir kembali di pasir pantai di mana kakimu langkahi jejak sunyiku. Bukankah harus ku jaga ruang kosong dibenak demi sempurna kudengar tiap bunyi dan gema suaramu

tentang cahaya senyuman
tentang hangat dekapan
tentang perih tikaman

takkan kupertanyakan apapun lagi; agar kau boleh selalu singgah di beranda rumahku
berbagi sigaret dan secangkir kopi, dan lihat; jejak asap itu buru-buru berhambur ke arah langit membawa ingatan nafasmu pada nikmat tiap hela dan hembus udara, hilang tertiup harum bungamu dan aroma musim hujanku

biar saja semua bentuk mengutuk rasa ; percaya pada tulusnya dosa ; demi rindu, ingin kubaca setumpuk catatan berdebu disudut ruang, satu per satu, sebelum habis waktu; sebelum pahit empedu di lidahmu menyita manis kata-kata di ujung jarimu.

lalu; kita mejelma serangga saja, agar sebutir gula senilai permata
bisakah..??

Sabtu, 14 Desember 2013

Terimakasih black bird....

Seminggu sebelum mama harus dirawat intensif di ruang ICCU RSUD Prof. W.Z. Johanes Kupang, karena pembengkakan jantung. Seorang sahabat, Ambara Saraswati Mardani, memposting salah satu lagu favorit saya, “Negeri di Awan” miliknya Katon Bagaskara, di akun facebooknya. Postingan tersebut dinyanyikan sendiri oleh sahabat saya itu. Suara tipis dan tajam dari sahabat saya ini, serta musikalitas dari seorang Ivan Bartels membuat lagu tersebut terdengar semakin indah dan menusuk hingga sumsum.

Oh iya, ini liriknya:

Di bayang wajahmu
kutemukan kasih dan hidup
yang lama lelah aku cari
di masa lalu
Kau datang padaku
kau tawarkan hati nan lugu
selalu mencoba mengerti
hasrat dalam diri
Kau mainkan untukku
sebuah lagu
tentang negeri di awan
di mana kedamaian menjadi istananya
dan kini tengah kau bawa
aku menuju kesana oh.. hoo
Ternyata hatimu
penuh dengan bahasa kasih
yang terungkapkan dengan pasti
dalam suka dan sedih

Nyanyian tersebut menemani saya selama menjaga mama yang hampir 2 minggu dirawat di RSUD. Lagu ini  meski tak menggunakan langsung kata "ibu", menurut saya lagu "Negeri di Awan" ini berkisah tentang seorang ibu. Majas-majas digunakan untuk menggambarkan mengenai ibu, membuat lagu ini indah sekali. Terimakasih black bird, atas lagu dan suara indahnya....

JIka ingin mendengar suara sahabat saya ini, bisa DOWNLOAD DI SINI