Anak-anak, Pacaran, dan Seks
Istilah pacaran
sungguh sangat tidak asing di masa sekarang ini. Bahkan anak usia SD
pun sudah nampak sangat fasih bicara soal pacaran. Mungkin ini akibat
maraknya lagu menyebutkan kata cinta, pacar, sayang, dan lain
sebagainya. Saat anak kecil makin akrab dengan aktifitas pacaran, di
kalangan orang dewasa nampaknya pacaran tak lagi menjadi sesuatu yang
memusingkan. Pacaran sebagai bentuk komitmen malah tak dianggap serius,
bahkan berkembang yang namanya open relationship, alias punya pacar tapi masih boleh main kesana kemari dengan orang lain.
Kalau anak kecil mungkin sudah pacaran dengan bergandengan tangan dan
cium-cium pipi, orang dewasa (sebut saja berumur banyak kalau
kelakuannya tidak mencerminkan kedewasaan) nampaknya sudah terlibat
dengan aktifitas seksual yang lebih jauh. Kencan atau pacaran adalah
bagian dari perkembangan kehidupan normal seseorang. Namun jika
kencannya eksklusif, maka nampaknya hubungan seksual sudah terjadi.
Anak yang cepat memulai hubungan pacaran, kebanyakan merupakan anak yang
hubungan dengan orangtuanya tidak dekat. Kebutuhannya akan perlekatan
dialihkan pada orang lain. Remaja yang memulai seks dini, lebih banyak
tidak menggunakan pengaman sehingga menempatkan mereka pada infeksi
menular seksual (IMS) dan kehamilan sebelum usia yang matang. Sebuah
survei di Amerika Serikat tahun 2006-2008 mengatakan bahwa tidak semua
remaja seksual aktif mengambil risiko tinggi dalam hubungan seksual. 39%
perempuan dan 33% laki-laki hanya berhubungan dengan pasangannya saja.
Masalahnya adalah, dari hubungan model open relationship yang
disertai aktifitas seksual, maupun anak yang berpacaran di usia dini,
banyak risiko kesehatan baik mental maupun fisik yang harus dihadapi.
Tak hanya itu, isu kekerasan juga menjadi permasalahan pelik dalam
sebuah hubungan. Seringkali mereka sulit meninggalkan pasangannya karena
merasa telah melampaui hubungan yang lebih dekat. Sehingga meski
kekerasan terjadi (verbal, seksual, maupun fisik) individu tersebut
tidak juga beranjak pergi dari pacarnya.
Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan
pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan
atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di
ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.
Pandangan masyarakat yang umumnya memandang kekerasan seksual hanya
sebatas pelanggaran terhadap kesusilaan memicu munculnya pandangan bahwa
hal ini adalah persoalan moralitas semata. Perempuan ditempatkan
sebagai penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Akibatnya,
jika terjadi sesuatu pada diri perempuan, ia merasa malu untuk
menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya. Sikap korban
kekerasan seksual yang menutupi apa yang dialaminya, tidak jarang justru
mendapat dukungan dari keluarga ataupun lingkungannya. Akhirnya
perempuan tersebut malah kehilangan haknya karena dianggap memiliki aib.
Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi korban dari kekerasan dan/atau
kekerasan seksual. Kekerasan seksual dapat berdampak buruk dan
mempengaruhi kesehatan (fisik maupun psikis) untuk jangka waktu yang
lama. Oleh karena itu penting bagi orang yang lebih dewasa, terutama
keluarga, untuk membantu mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?.
Pertama, sebagai orang tua, kita harus mulai bicara sebelum terjadi
sesuatu. Seperti pepatah mengatakan “sedia payung sebelum hujan”,
sebaiknya mulailah menjelaskan pada anak atau orang yang lebih muda
(terutama anak-anak) mengenai bagian khusus dari diri mereka. Jelaskan
bahwa ada area tertentu yang tidak boleh disentuh orang lain, dan mereka
boleh saja untuk mengatakan TIDAK ketika mereka tidak mau disentuh.
Serta jelaskan pada mereka bahwa jangan ragu untuk bercerita ketika ada
yang melanggar batasan yang telah dibuat.
Kedua, komunikasi terbuka adalah pencegahan paling efektif. Jelaskan
pada mereka bahwa Anda tertarik dan bersedia diajak bicara pada topik
apapun di sekitarnya, mulai dari sekolah, olahraga, teman atau apapun.
Perhatikan kejadian sehari-hari di sekitar yang dapat menjadi pelajaran
bagi mereka, bersikaplah sebagai teman tidak sebagai guru, dalam kondisi
santai atau tenang dan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Kemudian
ajarkan mereka bagian-bagian tubuh mereka, terutama bagian tubuh khusus
dan apa dampaknya ketika disentuh.
Ketiga, menyadari bahwa kemampuan anak dalam mengembangkan dirinya dan
berelasi dapat melindungi dirinya dari hal buruk di atas. Tingkatkan
kepercayaan diri anak sehingga tidak mudah dipengaruhi orang lain.
Berikan kesempatan dalam pelatihan kepemimpinan atau pengembangan diri
agar anak mengenali dirinya dan dapat melawan ketika dipermalukan atau
mengalami kekerasan. Tingkatkan kepekaan anak terhadap apa yang
dipikirkan dan dirasakan orang lain, sehingga bukan hanya menjadi korban
tapi juga tidak menjadi pelaku.
Terakhir, jelaskan pada anak bahwa pelaku kejahatan dapat merupakan
orang sekitar, dan awal kejahatan mungkin saja tidak disadari. Ingatkan
anak bahwa kapanpun ia merasa tidak nyaman ia dapat dan harus berkata
tidak. Serta jangan ragu bercerita kepada Anda apabila terjadi masalah
ataupun pertanyaan ke depannya.
Sumber : angsamerahclinic
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.