Sabtu, 23 November 2013

Kekerasan Seksual pada Anak

Anak-anak, Pacaran, dan Seks 



Istilah pacaran sungguh sangat tidak asing di masa sekarang ini. Bahkan anak usia SD pun sudah nampak sangat fasih bicara soal pacaran. Mungkin ini akibat maraknya lagu menyebutkan kata cinta, pacar, sayang, dan lain sebagainya. Saat anak kecil makin akrab dengan aktifitas pacaran, di kalangan orang dewasa nampaknya pacaran tak lagi menjadi sesuatu yang memusingkan. Pacaran sebagai bentuk komitmen malah tak dianggap serius, bahkan berkembang yang namanya open relationship, alias punya pacar tapi masih boleh main kesana kemari dengan orang lain.


Kalau anak kecil mungkin sudah pacaran dengan bergandengan tangan dan cium-cium pipi, orang dewasa (sebut saja berumur banyak kalau kelakuannya tidak mencerminkan kedewasaan) nampaknya sudah terlibat dengan aktifitas seksual yang lebih jauh. Kencan atau pacaran adalah bagian dari perkembangan kehidupan normal seseorang. Namun jika kencannya eksklusif, maka nampaknya hubungan seksual sudah terjadi.
Anak yang cepat memulai hubungan pacaran, kebanyakan merupakan anak yang hubungan dengan orangtuanya tidak dekat. Kebutuhannya akan perlekatan dialihkan pada orang lain. Remaja yang memulai seks dini, lebih banyak tidak menggunakan pengaman sehingga menempatkan mereka pada infeksi menular seksual (IMS) dan kehamilan sebelum usia yang matang. Sebuah survei di Amerika Serikat tahun 2006-2008 mengatakan bahwa tidak semua remaja seksual aktif mengambil risiko tinggi dalam hubungan seksual. 39% perempuan dan 33% laki-laki hanya berhubungan dengan pasangannya saja.
Masalahnya adalah, dari hubungan model open relationship yang disertai aktifitas seksual, maupun anak yang berpacaran di usia dini, banyak risiko kesehatan baik mental maupun fisik yang harus dihadapi. Tak hanya itu, isu kekerasan juga menjadi permasalahan pelik dalam sebuah hubungan. Seringkali mereka sulit meninggalkan pasangannya karena merasa telah melampaui hubungan yang lebih dekat. Sehingga meski kekerasan terjadi (verbal, seksual, maupun fisik) individu tersebut tidak juga beranjak pergi dari pacarnya.
Kekerasan Seksual
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi.
Pandangan masyarakat yang umumnya memandang kekerasan seksual hanya sebatas pelanggaran terhadap kesusilaan memicu munculnya pandangan bahwa hal ini adalah persoalan moralitas semata. Perempuan ditempatkan sebagai penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Akibatnya, jika terjadi sesuatu pada diri perempuan, ia merasa malu untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya. Sikap korban kekerasan seksual yang menutupi apa yang dialaminya, tidak jarang justru mendapat dukungan dari keluarga ataupun lingkungannya. Akhirnya perempuan tersebut malah kehilangan haknya karena dianggap memiliki aib.
Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi korban dari kekerasan dan/atau kekerasan seksual. Kekerasan seksual dapat berdampak buruk dan mempengaruhi kesehatan (fisik maupun psikis) untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu penting bagi orang yang lebih dewasa, terutama keluarga, untuk membantu mencegah terjadinya kekerasan seksual. 
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Pertama, sebagai orang tua, kita harus mulai bicara sebelum terjadi sesuatu. Seperti pepatah mengatakan “sedia payung sebelum hujan”, sebaiknya mulailah menjelaskan pada anak atau orang yang lebih muda (terutama anak-anak) mengenai bagian khusus dari diri mereka. Jelaskan bahwa ada area tertentu yang tidak boleh disentuh orang lain, dan mereka boleh saja untuk mengatakan TIDAK ketika mereka tidak mau disentuh. Serta jelaskan pada mereka bahwa jangan ragu untuk bercerita ketika ada yang melanggar batasan yang telah dibuat.
Kedua, komunikasi terbuka adalah pencegahan paling efektif. Jelaskan pada mereka bahwa Anda tertarik dan bersedia diajak bicara pada topik apapun di sekitarnya, mulai dari sekolah, olahraga, teman atau apapun. Perhatikan kejadian sehari-hari di sekitar yang dapat menjadi pelajaran bagi mereka, bersikaplah sebagai teman tidak sebagai guru, dalam kondisi santai atau tenang dan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Kemudian ajarkan mereka bagian-bagian tubuh mereka, terutama bagian tubuh khusus dan apa dampaknya ketika disentuh.
Ketiga, menyadari bahwa kemampuan anak dalam mengembangkan dirinya dan berelasi dapat melindungi dirinya dari hal buruk di atas. Tingkatkan kepercayaan diri anak sehingga tidak mudah dipengaruhi orang lain. Berikan kesempatan dalam pelatihan kepemimpinan atau pengembangan diri agar anak mengenali dirinya dan dapat melawan ketika dipermalukan atau mengalami kekerasan. Tingkatkan kepekaan anak terhadap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain, sehingga bukan hanya menjadi korban tapi juga tidak menjadi pelaku.
Terakhir, jelaskan pada anak bahwa pelaku kejahatan dapat merupakan orang sekitar, dan awal kejahatan mungkin saja tidak disadari. Ingatkan anak bahwa kapanpun ia merasa tidak nyaman ia dapat dan harus berkata tidak. Serta jangan ragu bercerita kepada Anda apabila terjadi masalah ataupun pertanyaan ke depannya.
 

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.