Kami pernah bersama. Benar-benar bersama. Setiap hari yang kami
lakukan hanya berbagi cerita, saling bertanya kabar satu sama lainnya. Saling
merindukan, saling mendoakan. Kami pasangan yang serasi. Kata dia begitu. Entah
kenapa aku kurang setuju. Kami bukan pasangan, tapi sudah menjadi satu bagian
dari kebersamaan itu sendiri. Jadi, aku anggap bahwa ketika dia tak bersamaku
berarti dia tak lengkap. Begitu juga sebaliknya. Tanpa aku, dia tak sempurna.
Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya. Dengan berbagai sapa cinta setiap
pagi. Berbagai macam ucapan doa dan harap setiap hari. Aku dan dia benar-benar
seperti sudah ketergantungan. Dia membuatku lebih dari spesial. Dia pernah
bilang bahwa dia selalu mendambakan sosok ‘laki-laki’. Ya, laki-laki. Seseorang
yang membuatnya jauh lebih bernyawa. Seseorang yang akan dia cintai sampai
lebih lama dari selamanya. Seseorang yang akan dia buat selalu bahagia dia sebut
laki-laki. Laki-laki itu aku, katanya.
Cerita tentang kami mirip dongeng. Dia yang jadi Puteri, aku yang jadi Ksatria
Berkuda Putih. Mungkin sebagian orang akan mual. Tapi jika mereka sudah tahu
seperti apa hubungan yang kami jalani, aku berani bertaruh mereka justru akan
iri. Aku merasa menjadi laki-laki paling sempurna dan beruntung di dunia saat
memilikinya. Dia, PEREMPUANku yang selalu cantik dan indah meski memakai
pakaian apa saja. Perempuanku yang tak pernah membuatku marah. Perempuanku yang
selalu menggodaku dengan candaan dan kekonyolannya. Yah, dia pernah
melakukan semua itu.
Dongeng kami selalu berisi tentang kebahagiaan, tawa dan canda. Sialnya,
kami tidak pernah mempersiapkan kemungkinan terpahit tentang sebuah perpisahan.
Aku sebenarnya sudah tahu sejak awal. Aku dan dia… kami tak mungkin bisa
memperjuangkannya. Kami jatuh cinta, saling menginginkan, pernah berciuman dan
bercinta tanpa ragu, pernah bermimpi tentang indahnya membangun sebuah
keluarga, tapi… kami tak akan bisa kesana.
Sesungguhnya alasan yang selalu aku sangkal ini membuatku perih. Membuatku
tersiksa dengan luka yang dalam. Cintanya tak pernah nyata ada di duniaku.
Cintanya hanya hadir di dalam kepalaku saja. Dia hadir hanya di dalam dada. Dia
lalu seperti fiksi di dalam realita. Aku tak yakin benar, tapi keberadaannya
jadi seperti cakrawala di kejauhan sana. Mengabur, menghilang dan hanya meninggalkan
gumpalan. Apa yang bisa aku kejar lagi? Tak ada.
Aku bukannya tak mau memberinya kesempatan untuk membuktikan. Tapi apalagi
yang ingin diwujudkan? Semua yang pernah kami bicarakan hanya seperti dialog
dari sebuah adegan di dalam novel. Sayangnya, novel itu dibuat dengan
asal-asalan tanpa emosi. Karena itu, tak ada yang dapat merasakan benar apakah
tokoh ‘Dia’ yang sejak tadi aku sebutkan benar ada atau justru rekaan semata.
Tak apa. Aku tak butuh pengakuan atau pembenaran dari adanya “dia”. Yang jelas
dia masih ada sampai sekarang. Sedang berbahagia, dengan orang yang
dicintainya, yang (jelas) bukan aku. Sekali lagi, tak apa. Aku senang masih
bisa menyayanginya.
Namun, sekali waktu pernah ada yang bertanya padaku.
“Kamu masih mencintainya?”
Tanpa ragu aku hanya bisa menjawab pendek.
“Tentu.”
0 komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.