Kamis, 07 November 2013

Tentu...


Kami pernah bersama. Benar-benar bersama. Setiap hari yang kami lakukan hanya berbagi cerita, saling bertanya kabar satu sama lainnya. Saling merindukan, saling mendoakan. Kami pasangan yang serasi. Kata dia begitu. Entah kenapa aku kurang setuju. Kami bukan pasangan, tapi sudah menjadi satu bagian dari kebersamaan itu sendiri. Jadi, aku anggap bahwa ketika dia tak bersamaku berarti dia tak lengkap. Begitu juga sebaliknya. Tanpa aku, dia tak sempurna.

Aku sudah terbiasa dengan kehadirannya. Dengan berbagai sapa cinta setiap pagi. Berbagai macam ucapan doa dan harap setiap hari. Aku dan dia benar-benar seperti sudah ketergantungan. Dia membuatku lebih dari spesial. Dia pernah bilang bahwa dia selalu mendambakan sosok ‘laki-laki’. Ya, laki-laki. Seseorang yang membuatnya jauh lebih bernyawa. Seseorang yang akan dia cintai sampai lebih lama dari selamanya. Seseorang yang akan dia buat selalu bahagia dia sebut laki-laki. Laki-laki itu aku, katanya.
Cerita tentang kami mirip dongeng. Dia yang jadi Puteri, aku yang jadi Ksatria Berkuda Putih. Mungkin sebagian orang akan mual. Tapi jika mereka sudah tahu seperti apa hubungan yang kami jalani, aku berani bertaruh mereka justru akan iri. Aku merasa menjadi laki-laki paling sempurna dan beruntung di dunia saat memilikinya. Dia, PEREMPUANku yang selalu cantik dan indah meski memakai pakaian apa saja. Perempuanku yang tak pernah membuatku marah. Perempuanku yang selalu menggodaku dengan candaan dan kekonyolannya. Yah, dia pernah melakukan semua itu.
Dongeng kami selalu berisi tentang kebahagiaan, tawa dan canda. Sialnya, kami tidak pernah mempersiapkan kemungkinan terpahit tentang sebuah perpisahan. Aku sebenarnya sudah tahu sejak awal. Aku dan dia… kami tak mungkin bisa memperjuangkannya. Kami jatuh cinta, saling menginginkan, pernah berciuman dan bercinta tanpa ragu, pernah bermimpi tentang indahnya membangun sebuah keluarga, tapi… kami tak akan bisa kesana.
Sesungguhnya alasan yang selalu aku sangkal ini membuatku perih. Membuatku tersiksa dengan luka yang dalam. Cintanya tak pernah nyata ada di duniaku. Cintanya hanya hadir di dalam kepalaku saja. Dia hadir hanya di dalam dada. Dia lalu seperti fiksi di dalam realita. Aku tak yakin benar, tapi keberadaannya jadi seperti cakrawala di kejauhan sana. Mengabur, menghilang dan hanya meninggalkan gumpalan. Apa yang bisa aku kejar lagi? Tak ada.
Aku bukannya tak mau memberinya kesempatan untuk membuktikan. Tapi apalagi yang ingin diwujudkan? Semua yang pernah kami bicarakan hanya seperti dialog dari sebuah adegan di dalam novel. Sayangnya, novel itu dibuat dengan asal-asalan tanpa emosi. Karena itu, tak ada yang dapat merasakan benar apakah tokoh ‘Dia’ yang sejak tadi aku sebutkan benar ada atau justru rekaan semata.
Tak apa. Aku tak butuh pengakuan atau pembenaran dari adanya “dia”. Yang jelas dia masih ada sampai sekarang. Sedang berbahagia, dengan orang yang dicintainya, yang (jelas) bukan aku. Sekali lagi, tak apa. Aku senang masih bisa menyayanginya.
Namun, sekali waktu pernah ada yang bertanya padaku.
“Kamu masih mencintainya?”
Tanpa ragu aku hanya bisa menjawab pendek.
“Tentu.”


0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.