Kekerasan Seksual pada anak

Istilah pacaran sungguh sangat tidak asing di masa sekarang ini. Bahkan anak usia SD pun sudah nampak sangat fasih bicara soal pacaran. Mungkin ini akibat maraknya lagu menyebutkan kata cinta, pacar, sayang, dan lain sebagainya

Surat Untuk Nona Rambut Tabongkar 2

Teruntuk beta pung Nona rambut tabongkar tersayang... Apa kabar, sayang? Entah ini hari yang ke berapa katong su sonde saling bertegur sapa. Ya. Bukan waktu yang lama memang, tapi su cukup untuk membuat beta merindukan senyum dan sapaan hangat dari nona.

Kamu pasti tau kenapa ini tercipta....

SEPI bukan berarti HILANG... DIAM bukan berarti LUPA... JAUH bukan berarti PUTUS... SENDIRI bukan berarti MATI... Yang pasti saat MATI, tentu SENDIRI....

Pada Suatu Hari....

Pasti akan ada satu hari. Di mana kamarku mendadak senyap. Tanpa celotehan dan suara nada dering ponsel, serta tak ada lagi suara dari putaran kipas angin laptop.

Belajar dari Lentera Alam Learning Community for Women and Children

Kemarin perempuan muda, cantik dan bersahaja itu berkata pada saya, "tak harus mengeluarkan banyak uang untuk bisa membahagiakan dan menyenangkan anak-anak

Senin, 12 November 2012

Hachiko: A Dog's Story (2009)

Di Kota Shibuya, Jepang, tepatnya di alun-alun sebelah timur Stasiun Kereta Api Shibuya, terdapat patung yang sangat termasyur. Bukan patung pahlawan ataupun patung selamat datang, melainkan patung seekor doggy. Dibuat oleh Ando Takeshi pada tahun 1935 untuk mengenang kesetiaan seekor doggy kepada tuannya.
Seorang Profesor setengah tua tinggal sendirian di Kota Shibuya. Namanya Profesor Hidesamuro Ueno. Dia hanya ditemani seekor doggy kesayangannya, Hachiko. Begitu akrab hubungan doggy dan tuannya itu sehingga kemanapun pergi Hachiko selalu mengantar. Profesor itu setiap hari berangkat mengajar di universitas selalu menggunakan kereta api. Hachiko pun setiap hari setia menemani Profesor sampai stasiun.
Di stasiun Shibuya ini Hachiko dengan setia menunggui tuannya pulang tanpa beranjak pergi sebelum sang profesor kembali.. Dan ketika Profesor Ueno kembali dari mengajar dengan kereta api, dia selalu mendapati Hachiko sudah menunggu dengan setia di stasiun. Begitu setiap hari yang dilakukan Hachiko tanpa pernah bosan.
Musim dingin di Jepang tahun ini begitu parah. Semua tertutup salju. Udara yang dingin menusuk sampai ke tulang sumsum membuat warga kebanyakan enggan ke luar rumah dan lebih memilih tinggal dekat perapian yang hangat.
Pagi itu, seperti biasa sang Profesor berangkat mengajar ke kampus. Dia seorang profesor yang sangat setia pada profesinya. Udara yang sangat dingin tidak membuatnya malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju kampus tempat ia mengajar. Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh juga tidak membuat dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga Hachiko, tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan menemani tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang terbuka, Profesor Ueno berangkat ke stasun Shibuya bersama Hachiko.
Tempat mengajar Profesor Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Tapi memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor untuk naik kereta setiap berangkat maupun pulang dari universitas.
Kereta api datang tepat waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang seakan sedikit menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah menunggu itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun maupun pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan doggynya yang setia itu, Hachiko. Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi pelanggan setia kendaraan berbahan bakar batu bara itu.
Setelah mengelus dengan kasih sayang kepada doggynya layaknya dua orang sahabat karib, Profesor naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko memandangi dari tepian balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta, seakan dia ingin mengucapkan," saya akan menunggu tuan kembali."
" doggy manis, jangan pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi sebelum tuan kamu ini pulang!" teriak pegawai kereta setengah berkelakar.
Seakan mengerti ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,"guukh!"
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu. Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.
Di kampus, Profesor Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada tugas menyelesaikan penelitian di laboratorium. Karena itu begitu selesai mengajar di kelas, dia segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara yang sangat dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor kampus.
Tiba-tiba ia merasakan sesak sekali di dadanya. Seorang staf pengajar yang lain yang melihat Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke klinik kampus. Berawal dari hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh karena Profesor Ueno pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno menderita penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia. Profesor Ueno meninggal dunia.
Segera kerabat Profesor dihubungi. Mereka datang ke kampus dan memutuskan membawa jenazah profesor ke kampung halaman mereka, bukan kembali ke rumah Profesor di Shibuya.
Menjelang malam udara semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi Hachiko tetap bergeming dengan menahan udara dingin dengan perasaan gelisah. Seharusnya Profesor Ueno sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di sekitar balkon Hachiko mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada di stasiun merasa iba dengan kesetiaan doggy itu. Ada yang mendekat dan mencoba menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.
Malam pun datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di situ. Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang tunggu. Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang, mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu saja ia harus kecewa, karena Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya, dua hari kemudian, dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun itu, mengharap tuannya kembali. Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.
Para pegawai stasiun yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran kenapa Profesor Ueno tidak pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Akhirnya didapat kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia, bahkan telah dimakamkan oleh kerabatnya.
Mereka pun berusaha memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan pernah kembali lagi dan membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi doggy itu seakan tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan menunggu tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan kembali. Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.
Akhirnya tersebarlah berita tentang seekor doggy yang setia terus menunggu tuannya walaupun tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang ingin melihatnya. Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air matanya ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor doggy yang sedang meringkuk di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak pernah akan kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan, susu, bahkan selimut agar tidak kedinginan.
Selama 9 tahun lebih, dia muncul di station setiap harinya pada pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun hari-hari itu adalah saat dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba. Dan di suatu pagi, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor kepada pegawai keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu menemukan tubuh seekor doggy yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang tunggu. doggy itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada sang tuannya pun terbawa sampai mati.
Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke stasiun Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan doggy itu. Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati sebuah arti kesetiaan yang kadang justru langka terjadi pada manusia.
Mereka begitu terkesan dan terharu. Untuk mengenang kesetiaan doggy itu mereka kemudian membuat sebuah patung di dekat stasiun Shibuya. Sampai sekarang taman di sekitar patung itu sering dijadikan tempat untuk membuat janji bertemu. Karena masyarakat di sana berharap ada kesetiaan seperti yang sudah dicontohkan oleh Hachiko saat mereka harus menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiko pun dijadikan symbol kesetiaan. Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati.
Film ttg kisah hachiko dibuat di jepang tahun 1987 dgn judul "Hachiko Monagatari". Film ini byk memperoleh penghargaan... Dan versi hollywoodnya dibuat dgn judul "Hachiko : A Dog's Story" (Starring and Co-Producted by Richard Gere).


Minggu, 11 November 2012

ANDREAS, SI TUKANG PARKIR

PEKERJAAN ADALAH RAHMAT TUHAN

Setiap hari dia ada di tepi jalan raya. Tetapi, dia bukan anak jalanan. Dia juga bukanlah polisi lalu-lintas. Dia hanyalah seorang tukang parkir. Oleh teman-teman sejawatnya, pria ini biasa disapa Andreas. Dari pria kelahiran Soe, 36 tahun lalu inilah, kisah ini bermula.

Aisah Muhammad

Perjalanan hidup telah mengantarnya ke tempat ini. Tepatnya di halaman Toko Bali Shoes Kupang. Dulu, setelah menamatkan pendidikan di SMA, Andreas mengikuti Tes Polisi. Dua kali tes itu diikuti. Tapi, dewi fortuna belum berpihak kepadanya.
Andreas lalu mengikuti Tes Satpam. Dua kali juga tes ini diikutinya. Tapi, lagi-lagi keberuntungan seakan menjauhinya. Andreas tetap saja tidak lulus. Maka pada tahun 1995, pria berkulit hitam manis ini memutuskan untuk menjadi Tukang Parkir. Sebuah pekerjaan yang tentunya membutuhkan pengorbanan fisik yang tidak main-main.
Memang, sudah 17 tahun Andreas menekuni profesinya ini. Tapi, tak ada kata menyerah. Apalagi kapok lalu meninggalkan pekerjaan kasar ini. Baginya, setiap pekerjaan adalah rahmat dari Tuhan. Tinggal bagaimana kita mencintai pekerjaan tersebut. Maka, pekerjaan tersebut akan balik mencintai kita. “Kalau sudah begitu, seberat dan sesulit apapun pekerjaan yang kita kerja, dapat kita selesaikan dengan baik. Dan akan mendatangkan hasil yang baik pula buat kita,” ungkapnya.
Dari pekerjaan sederhana ini, pria yang telah memiliki tiga anak ini mampu memenuhi semua kebutuhan rumah tangganya. Juga keperluan sekolah anak-anaknya. “Ya, dengan penghasilan begini pas-paslah kita penuhi kebutuhan. Pas untuk bisa makan minum. Juga buat urus anak to,” akunya.
Pengorbanan Andreas pantaslah diacungi jempol. Betapa tidak, setiap hari dia harus bekerja selama 8 jam. Mulai dari jam 10 pagi dan berhenti sejenak pada jam 2 sore. Jam 5 sore, Andreas kembali melanjutkan tugasnya hingga jam 9 malam.
Jika dikalkulasikkan secara jujur, jumlah jam kerjanya melampaui jam kerja seorang pegawai negeri sekali pun. Karena tak ada kata libur baginya dalam sepekan. Meski begitu, gajinya tak sebanding dengan banyaknya keringat yang ia teteskan.
Belum lagi banyak hambatan yang ditemukan di tempat kerjanya. Ketika menghadapi para pemilik kendaraan, para pengguna jalan, serta para sopir kendaraan yang selalu memandang sepele pada dirinya.
Tetapi, berkat semangat dan keluhuran niat, Andreas pantang menyerah. Selalu berpikir positif, pandai menahan amarah dan selalu tersenyum adalah jurus-jurus jitu  yang senantiasa dia gunakan dalam meluluhkan hati setiap orang yang dihadapinya. 
Dengan seragam rompi biru, sebuah topi lusuh, sebuah pluit dan sebuah tongkat setengah meter, Andreas mulai memandu jalannya rute parkir. Layaknya seorang polisi yang mengatur jalannya arus lalu-lintas, Andreas tak segan mengomandokan berhenti dan maju bagi setiap kendaraan yang di depannya.
Setiap kendaraan yang mulai memarkir kendaraan di area kerjanya, dia mulai mengatur posisi masuk. Lalu memberikan secarik karcis seharga Rp. 1.000. Menyilakan pemilik kendaraan berlalu. Menjaga keberadaan dan keselamatan kendaraan adalah bagian dari tanggung jawabnya yang tidak mudah. Karena letak area parkir adalah di tepi jalan persis di muka toko.
Kendati berat pekerjaan yang dihadapi, pria paruh baya ini punya mimpi yang besar. “Saya kan tamat SMA saja to. Jadi saya punya mimpi saya punya anak-anak bisa sarjanalah. Itu juga sudah jadi prinsip saya. Supaya dia bisa lebih dari dia punya bapak,” tegasnya dengan nada sedikit berkelakar.
Bila diperhatikan, sinar di matanya tak dapat menyembunyikan, betapa dia adalah suami yang bertanggung jawab bagi istrinya. Juga sebagai bapak yang bertanggung jawab atas masa depan anak-anaknya. Semoga mimpi dan harapannya tercapai.


Tempat Parkir Perlu Dikelola Profesional

Kota Kupang dengan luas wilayah 0,33% dari luas Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan Kota berpenduduk terbanyak ketiga di NTT dan kepadatan tertinggi. Sebagai kota terbesar Propinsi NTT, Kupang dikenal sebagai kota padat kendaraan sehingga di beberapa titik jalan, pada jam-jam tertentu kemacetan tidak bisa dihindari. Karena itu perlu adanya perbaikan pengelolaan parkir.

Cover TIMORense Edisi 46
Kenyataan ini bisa kita lihat di sepanjang jalan Sudirman Kuanino - Kupang, di kawasan Kampung Solor, dan di beberapa titik jalan lainnya. Padahal, Pemerintah Kota Kupang dalam upaya mengatasi kemacetan telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 15/2011 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum. Namun sayangnya, kenyataan kemacetan masih saja terjadi akibat dari semrawutnya parkir di lokasi-lokasi jalan umum tersebut.
Menanggapi persoalan ini, Dedy Manafe, SH, MHum, dosen hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, saat ditemui TIMORense, mengatakan, sudah saatnya Kota Kupang membutuhkan pengelola parkir profesional di masa mendatang. Pengelolaan parkir yang efektif diharapkan mampu menjadi salah satu upaya pemecah kemacetan lalu lintas. "Parkir menjadi bagian tidak terpisahkan dari pengendalian kemacetan. Untuk itu, penataannya memang harus dilakukan," kata Dedy.
Dedy mengakui, pertumbuhan kendaraan tidak sebanding dengan pertumbuhan ruas jalan. Jumlah kendaraan meningkat tajam sementara pertumbuhan ruas jalan hanya 0,01 % per tahun.
Terkait penataan parkir, menurut Dedy, Pemerintah Kota Kupang perlu menata secara profesional pengelolaan parkir di Kota Kupang. Untuk mengatasi persoalan ini, Dinas Perhubungan Kota Kupang dan jajarannya perlu berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Pasalnya status jalan tersebut merupakan jalan negara yang menjadi kewenangan Dinas Perhubungan NTT terkait persoalan sarana lalu lintas jalan.
Dedy menjelaskan, sejatinya para  usahawan yang berada di jalan-jalan strategis harus menyediakan lahan parkir. Apalagi pengunjungnya yang makin banyak setiap harinya.
Ia mencontohkan, Bank BNI di Kuanino yang menyediakan lahan parkir di lantai bawah tanah. Tetapi sayangnya, ada salah satu bank yang tidak menyediakan lahan parkir memadai sehingga sering memacetkan arus lalu lintas.
"Memang ada lahan parkirnya. Tetapi sangat kecil. Sehingga ketika nasabah bank itu memarkir kendaraan roda empat pada bagian kiri dan kanan jalan itu berpotensi menimbulkan kemacetan. Apalagi di ruas jalan itu arus lalu lintasnya dua arah," papar Dedy
Ia menambahkan, akibat dari penataan dan pengelolaan parkir yang tidak profesional berdampat makin menyempitnya beberapa jalan di Kota Kupang. Karena itu, menurutnya, perlu ada koordinasi lintas instansi antara pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan, Polantas dan para pelaku usaha. "Koordinasi itu untuk mewujudkan keamanan dan kenyamanan warga berlalu lintas di jalan raya," katanya.
Langkah ini ditempuh lantaran persoalan kemacetan lalin bukan hanya menjadi urusan Polantas saja. Urusan kemacetan menjadi tanggungjawab berbagai pihak termasuk masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Kadis Perhubungan Kota Kupang, Gosa Yohannes, kepada TIMORense mengatakan, sistem pengelolaan parkir di Kota Kupang dikelola pihak ketiga. Namun dia mengingatkan, sejatinya penetapan sebagai pengelola parkir melalui mekanisme tender.
Sesuai kontrak kerja, menurut Gosa, para pengelola parkir diwajibkan melengkapi juru parkirnya dengan traffic control lamp (tongkat lampu lalulintas) dan jangan pakai kayu, dan menggunakan rompi parkir. Jika musim hujan harus siapkan mantel untuk juru parkirnya. Juru parkir pun harus serahkan identitasnya agar gampang dikontrol.
Hal senada disampaikan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelola Keuangan Daerah Kota Kupang, Alfred Lakabela. “Kondisi  Kota Kupang sudah mulai rawan macet pada jam-jam tertentu, akibat dari parkir yang semrawut”, kata Gosa.
Untuk itu, menurut dia, perlu ada pembenahan secara menyeluruh, terutama pada petugas parkir agar profesional, lokasi parkir harus diberi tanda parkir dan jangan asal parkir, dan harus menaati rambu lalulintas yang ada. “Kalau bisa ada tenaga kontrak pada dinas tersebut untuk dilatih menjadi tukang parkir, minimal ada pengawasan yang ketat sehingga pengelolaan parkir semakin hari semakin baik”, saran Alfred. (*)

RETRIBUSI PARKIR, PUNGLI LEGAL


Yang namanya ada motor dan mobil pastinya ada tempat parkir, entah dikelola secara tradisional ataupun moderen, dan jangan salah seorang pengelola parkir bisa hidup dengan serba berkecukupan. Itu indikator kalau parkiran adalah bisnis yang subur di Kupang.

Bayangkan saja, kita misalnya beli roti di toko roti, namun karena roti yang kita cari tak ada, maka kita cuma setengah menit di dalam toko itu. Si tukang parkir langsung minta duit, bukannya membantu motor agar motor kita bisa keluar malah tukang parkir lari ke pelanggan lain. Sedangkan kita, tidak dianggap, sudah terima uang, ya sudah, walaupun tak semua tukang parkir seperti itu.
Sinta Makandolu, misalnya. Warga Oebufu itu saat ditemui TIMORense di salah satu lokasi parkir di bilangan Jalan Sudirman Kuanino Kupang mempertanyakan, apa sih gunanya tukang parkir? Tentunya untuk menertibkan pengguna kendaraan yang memarkirkan kendaraan. Sesuai kesaksian TIMORense di beberapa titik tempat parkir, tak ada pembatas antara parkir motor dan mobil, sehingga nampak kendaraan parkir tak beraturan. Hal inilah yang terkadang membuat pengguna kendaraan geram. Pasalnya, sepeda motor yang dibeli dengan keringat darah, disayang tiap hari dielus elus dan dimandikan, tapi didorong tukang parkir dengan seenak hati. Bahkan beberapa kali kejadian sepeda motornya lecet gara-gara keteledoran sang tukang parkir.
Belum lagi,  kata Sinta, kalau kita memarkirkan sepeda motor pasti standart sampingnya jadi korban. Bagaimana tidak? Sepeda motor yang lagi diparkir dipakai buat duduk tukang parkir saat standart samping diposisikan. Yang lebih parah, memakai standart samping untuk menahan beban sepeda motor yang hendak dipindah.
Keluhan yang lain juga disampaikan Mery Tunliu, Warga Oepura. Ia mengeluhkan kebiasaan tukang parkir yang merokok saat bekerja. Ia mengaku tidak anti terhadap kebiasaan merokok orang lain, namun menurutnya alangkah lebih baik jangan sambil kerja. Karena ia mengaku seringkali abu rokok dan label rokok pasti tempel di bagian-bagian sepeda motor.
Ia juga mengaku pernah ada pengalaman buruk. Waktu parkir mobil, si tukang parkir cuma bilang terus…terus . . .sampai-sampai mobilnya menabrak tiang listrik, hasilnya bumper belakang penyok. Parahnya, tak ada permintaan maaf atau tak ada menyesal dari si tukang parkir, malah minta uang pula. Karena itu dia menolak membayar retribusi parkir karena tak ada tanggungjawab juru parkirnya
Aneh juga, kalo tukang parkir cuma asal taruh, geser, dan bahkan merusak kendaraan kita, entah semau mereka ataupun tidak becusnya menjaga kendaraan yang dititipkan. Mereka terkesan lepas tangan bila terjadi sesuatu pada kendaraan kita atau menyalahkan kita.
Menanggapi keluhan pengguna parkir tersebut, Frengky Tualaka, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir di salah satu toko di Jalan Soeharto, kepada TIMORense mengatakan, jika ada pengunjung yang kehilangan sepeda motor atau helm maka itu menjadi tanggungjawab pribadi bukan menjadi tanggungjawab pengelola parkir. Karena itu, ia berharap para pengguna parkir juga harus lebih berhati-hati dalam memarkir kendaraan miliknya.
Menurut pria asli Soe ini, banyak kali pengguna kendaraan yang memarkir sepeda motornya dengan mengunci stirnya, sehingga untuk menggeser atau memindahkan sepeda motor itu dia harus menggunakan standar samping untuk menahan beban kendaraan tersebut.
Tanggapan senada juga disampaikan salah satu tukang parkir di Toko Bali Shoes Kupang. “Jika ada pengunjung yang kehilangan sepeda motor atau helm maka itu bukan tanggungjawab pengelola parkir dan dinas perhubungan”, katanya,
Pendapatan Tinggi, Pelayanan Rendah
Buruknya penanganan parkir di Kota Kupang mendapat sorotan masyarakat. Pasalnya, dari 60 titik parkir kendaraan yang ada di Kota Kupang, pendapatan asli daerah (PAD) yang dihasilkan dinilai relatif besar tetapi tidak sebanding dengan pelayanan yang memadai.
Maria Kase, warga Kelurahan Oepoi, ini mengaku sangat kecewa dengan penanganan parkir tersebut. Dirinya menilai dinas terkait yang menangani soal itu lemah dalam mengawasi kinerja bawahannya
“Coba hitung, ada berapa kendaraan yang parkir. Diperkirakan jutaan uang parkir yang masuk setiap harinya. Tapi tidak diimbangi dengan pelayanan yang memadai. Banyak pengguna parkir kehilangan kendaraan dan helm di tempat parkir,” ujar Maria.
Bahkan menurutnya, banyak tempat parkir tanpa ada karcis resmi, sehingga bisa saja terjadi penyelewengan dana retribusi parkir yang dipungut. Penyelewengan sangat terbuka lebar. “Hampir tidak ada parkiran yang pakai karcis resmi. Yang digunakan hanya nomor buatan mereka. Saya minta Dishub tegas dan tanggap dengan kondisi ini,” ujar ibu dua orang anak ini.
Dia juga sangat menyayangkan sistem pengelolaan parkir yang terjadi di Kota Kupang yang lebih terkesan sebagai pungutan liar (pongli). Sebab, kebanyakan tidak ada karcis di petugas parkir. “Retribusi harus memiliki kejelasan dengan karcis tersebut untuk diketahui berapa yang didapatkan untuk masuk ke PAD, karena hanya tergantung yang disetorkan petugas saja”, tandas Maria.
Parkir Tanpa Tanggungjawab?

Apa hakekat dari retribusi parkir? Apakah pengelola hanya menyewakan lahan parkir, atau sekedar menarik retribusi parkir, atau menjual jasa pengawasan parkir?
Desas-desus yang beredar menyebutkan, dalam satu klausul di kontrak kerja antara pihak Dinas Perhubungan dengan pihak ketiga sebagai pengelola parkir diatur bahwa petugas tidak bertanggungjawab terhadap semua bentuk kehilangan atau kerusakana di tempat parkir. Tentunya hal ini sangat meresahkan para pengguna parkir saat hendak meninggalkan kendaraannya di lahan parkir. Sebab, pengguna area parkir merasa tidak aman kalau-kalau kendaraannya yang diparkir hilang.
Terhadap persoalan ini, Dedy Manafe, dosen hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang kepada TIMORense mengatakan, sangat aneh kalau ada dalam kontrak kerja dengan pihak pengelola parkir diatur seperti itu. Menurutnya, lebih tepatnya kita bisa menyebut telah terjadi sesat logika dalam pengelolaan parkir. Pertama, tentang hakekat parkir. Apakah pengelola menyewakan lahan parkir, atau sekedar menarik retribusi parkir, atau menjual jasa pengawasan parkir? Mengapa mereka mengingkari tanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang di tempat yang berada dalam kekuasaan dan pengawasannya?
Sebab, dalam praktik selama ini, pengelola parkir hanya memposisikan diri sebagai penarik retribusi parkir, bukan menjual jasa pengawasan, apalagi penitipan kendaraan. Lalu, kepada siapa kita mempercayakan kendaraan kita? Apalagi ketika petugas parkir meminta kita agar stang sepeda motor tidak dikunci, dengan dalih biar mudah ditata. Kalau hilang, gimana? Pengguna parkir diposisikan wajib membayar retribusi, dan sebagai kompensasinya diberi hak menggunakan lahan parkir. Tapi ya hanya itu. Tidak termasuk hak keamanan, keselamatan, dan kenyamanan.
Kedua, menyangkut akuntabilitas pengelolaan parkir. Apabila pengelola parkir mengingkari tanggungjawab keamanan dan keselamatan kendaraan di lahan parkir yang mereka kelola, lalu kepada siapa kita mempercayakan kendaraan kita?  Sudahkah parkir diselenggarakan dengan azas kehati-hatian, kepedulian, dan keselamatan.
Ia menjelaskan, sungguh tidak masuk akal apabila pengelola parkir mengingkari tanggungjawab . Di pertokoan atau kantor, misalnya, kita harus meninggalkan kendaraan di tempat parkir, tanpa rasa aman. Kalau helm bisa dibawa masuk (kalau boleh), lalu kendaraan? Bukankah penghasilan dari ‘retribusi’ parkir terlalu besar untuk pekerjaan yang tidak diimbangi tanggungjawab?
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara tegas sudah mengatur bahwa konsumen berhak atas keamanan dan keselamatan atas jasa yang dikonsumsinya. Pesan eksoneratif (mengingkari tanggungjawab)  seperti itu jelas melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf (a). Pesan eksoneratif itu juga tidak selaras dengan logika sahnya kontrak. Karcis adalah bukti kontrak parkir.  Kontrak baru sah apabila ada kesepakatan, kesepahaman,  dan kerelaan. Karena ditetapkan sepihak, tentu saja tanpa kerelaan dan kesepakatan dari konsumen pengguna parkir.  Lebih buruk lagi, pesan eksoneratif itu ditulis dengan huruf kecil-kecil, warna tidak kontras, dan menggunakan istilah-istilah asing. Artinya konsumen kadang tidak mengetahui (dan sehingga tidak rela) dengan isi ‘kontrak’ di karcis parkir tersebut.
Rasa-rasanya kegalauan ini juga akan sulit terjawab. Jangankan yang masih berupa kekawatiran, yang pernah kehilangan pun tak pernah mendapatkan solusi. Selalu saja pengelola parkir berlindung di balik klausul kontrak kerja tadi.
Tumpang Tindih
Penerapan Peraturan Daerah (Perda) Kota Kupang Nomor 14/2011 tentang Retribusi Tempat Parkir Khusus dan Perda Kota Kupang Nomor 15/2011 tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum berjalan tumpang tindih.  Sesuai dengan Perda No. 15/2011, berlaku tarif Rp 1.000 untuk sepeda motor, dan Rp 2.000 untuk kendaraan roda empat. Sementara, berdasarkan Perda Nomor 14/tahun 2011 tentang retribusi parkir khusus, berlaku Rp 2.000 untuk sepeda motor dan Rp 3.000 dan seterusnya untuk roda empat.
Yang terjadi adalah di sejumlah titik tempat parkir di jalan umum para petugas parkir manarik retribusi dengan tarif yang berlaku untuk tempat parkir khusus.
Terhadap masalah ini Dedy Manafe mengatakan, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan di lapangan, baik pengawasan teknis maupun sebagai SKPD penanggungjawab. Di sini pemerintah melalu dinas perhubungan perlu melakukan pengawasan pelaksanaan operasional terhadap pelaksanaan Perda Retribusi tersebut dan mesti dilakukan secara berkala dan terus-menerus.
Selain itu, untuk menghindari terjadinya pungli di lapangan perlu dilakukan pegawasan fungsional yang dilakukan secara berjenjang oleh dinas perhubungan. Sehingga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan bisa dieleminir.
Dedy juga menambahkan perlu adanya pengawasan dari masyarakat. Namun menurutnya pegawasan dari masyarkat bisa berjalan apabila ada mekanisme pengaduan layanan. Menurutnya, dengan adanya mekanisme pengaduan masyarakat yang diatur dalam peraturan walikota maka dapat mengoptimalkan standar pelayanan publik.
Menurut dia, retribusi parkir merupakan salah satu sektor penting mendongrak pendapatan asli daerah (PAD). Eksekutif dan legislatif sudah berupaya menggenjotnya melalui parkir berlangganan. Meski sudah ada peningkatan, namum belum maksimal. Untuk itu, wajib dimaksilkan dari lokasi keramaian yang non parkir berlangganan. (*)

Kamis, 01 November 2012

Launching Buku MEMORI-MEMORI TERLARANG Perempuan Korban & Penyintas Tragedi '65 di Nusa Tenggara Timur.

Bagi kita sekarang tidak penting lagi menelusuri siapa dalang. Tapi yang penting adalah siapa yang menjadi korban. Tentu saja para jendral adalah korban. Tapi harus diingat ada korban kemanusiaan setelah Tragedi '65. Korban ini jauh lebih banyak dan sadis
Hal tersebut disampaikan Ketua PGI, Pdt. DR. A.A. Yewangoe dalam acara Launching Buku Memori-Memori Terlarang – Perempuan Korban & Penyintas Tragedi ’65 di NTT, beberapa pekan lalu di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Menurutnya, Versi Orde Baru hanya beberapa ribu tapi versi lain hampir setengah juta. Oleh karena itu keprihatinan kita harus kepada manusia. Buka pro atau kontra tapi manusia yang utama.
Pdt. Yewangoe mengatakan, sejak PKI dilarang saat Supersemar dan ada penangkapan, maka ada penggolongan orang menjadi A/B/C (dibunuh, dibuang atau dilepas). Refleksi mengenai ini pernah ditulis oleh Pramodya Ananta Toer. Korban ini akan mengalami pembunuhan karakter, tidak hanya dia tetapi semua keluarganya. Ini dilakukan oleh Orde Baru.
Karena itu menurutnya, stigma ini yang harus dihapuskan. Ia mengaku senang bahwa presiden SBY mengatakan bahwa mau mengatakan permintaan maaf. “Saya termasuk yang diundang untuk pertimbangan presiden untuk meminta maaf. Kami sangat senang. Tapi sayang sekali ada ormas lain yang tidak setuju. Tapi marilah kita berjuang agar ia dapat meminta maaf, karena dapat menyembuhkan luka sejarah” tutur Pdt. Yewangoe.
Masih dalam kesempatan yang sama, Pdt. Yewangoe menuturkan, presiden Gus Dur pada masa jabatannya pernah berusaha menghapus Tap MPR berkaitan dengan PKI karena alasan kemanusiaan. Tetapi ditolak dan ia malah dianggap sebagai pendukung PKI. Apakah dengan demikian ia membenarkan PKI? Tidak! Ia memaafkan tetapi tidak melupakan. Ia berusaha rekonsiliasi tetapi berusaha agar ini tidak terulang lagi.
Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Afrika selatan, di mana Nelson Mandela menunjukan bagaimana ia memberi inspirasi bagi pemulihan suatu bangsa. Kita harus melepaskan diri dari beban-beban sejarah. Kalau kita terus ada dalam beban sejarah, maka kita tidak akan maju. Tapi saya yakin, kalian mampu menganalisa sejarah dan maju ke depan.
Mengenai buku menurut Pdt. Yewangoe ini adalah tindakan melukai diri sendiri agar ada perubahan. Banyak cerita yang mengharukan. Banyak kali gereja sendiri (GMIT dan GKS) tidak memperhatikan. Situasi waktu itu membuat gereja tidak mampu menganalisa dengan baik. Kita menyayangkan ketika tragedi ’65 gereja tidak mampu menjalankan tugas pastoralnya. Ini adalah self critic. Pada saat tragedi ada pendeta di Sumba tetapi tidak dapat menjalankan tugasnya. Tapi sekarang semuanya sudah terjadi dan buku ini sudah ada. Marilah kita belajar untuk maju ke depan.
Sementara itu, Pdt. DR. Nicolas Woly dalam tanggapannya dikatakan, apa yang dihasilkan oleh JPIT ini, merupakan satu bentuk “bijaksana”. Mengapa? Karena menurutnya, melalui belajar kita akan terlebih dahulu menjadi bijaksana.
Dan juga menurutnya dengan buku ini, JPIT telah ikut serta dalam parade “masuk ke kekekalan”. Buku ini akan dibaca dalam rentang waktu lintas generasi. Buku ini akan menambah lagi deretan buku-buku yang dibutuhkan masyarakat dunia beradab yang salah satu agenda utamanya belajar membaca, karena “buku-buku adalah universitas keseharian kita”
Buku ini disusun oleh Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT) bekerjasama dengan Fakultas Teologi Universitas Kristen ARTHA WACANA, ICTIJ dan Kerk in Actie ini terdiri dari 8 Bab, yakni  Memori-memori terlarang: Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi '65 di NTT, SUMBA: * Korban Tragedi 1965 sebagai Orang Berdosa? (Sumba Barat), SABU: Penghancuran Perempuan Guru Sabu-Raijua oleh Negara, KOTA KUPANG :Peristiwa 1965 dan Aktivis Perempuan di Kota Kupang, KUPANG TIMUR : Ada Jurang di anatara Kita: Kekerabatan, dan Peran    Pastoral Gereja di Kupang Timur, TIMOR TENGAH SELATAN:Peristiwa 1965 dan      Pergumulan Identitas  Perempuan TTS,  ALOR : Janda Melawan Ketidakadilan di Alor dan EPILOG: Mulai Dengan Korban: Makna Tragedi '65 untuk Teologi.
Buku yang diedit oleh Pdt. Dr. Mery Kolimon  dan Lia Wetangterah ini, juga memuat gambar-gambar tempat pembantaian,  kuburan massal, selain foto penjara dan rumah-rumah tempat penahanan.