tetangga kompleksku ngobrol di gardu siskamling samping rumahku. sedang
asyik kami ngobrol-ngobrol, dari soal politik, olah raga sampe masalah warga
kompleks dibahas dengan lugas layaknya talk show di TV-tv yang sedang marak,
lewatlah seorang tukang pisang dengan ditemani seorang bocah seumuran anak
SD, menjajakan daganganya. "pisang...pisang..." begitu teriaknya.
Terhenti sejenak obrolan kami mengamati si tukang pisang tersebut, muncul
beberapa pertanyaan diantara kami; "mengapa sudah malam begini masih ada
saja tukang pisang keliling?" celetuk salah satu tetangga sebut saja dedi,
"kenapa bawa anak kecil segala?" tandas Eri tetangga ku dengan kritisnya.
"ada apa keranjang pisangnya dipegangi anaknya itu?" tanyaku dengan penuh
selidik.
Akhirnya kami mencoba menegurnya; "wah, malam-malam masih ada pisang ya
mang?" tanyaku. "iya pak,ada pisang raja dan ambon, masih seger dan masak
dipohon pak" sahut si tukang pisang. "ini anak mamang?" tanya Dedi."iya pak,
anak saya yang ke dua." sahutnya."kok malam-malam ikut jualan apa tidak
belajar?" tanya Eri penasaran. "sudah belajar pak tadi sore sebelum ngater
bapak jualan" jawab anak itu. "Kok Bapak malam-malam masih jualan bawa anak
lagi, apa gak kasihan anak Bapak kan besok pagi-pagi harus ke sekolah" tanya
ku. "Bapak saya buta, jadi terpaksa harus diantar kalau mau julan keliling
pak" sahut anak itu menjelaskan.
Kami begitu kaget mendengar penjelasan seorang bocah ingusan yang begitu
berbakti kepada orang tuanya yang sedang berusaha itu. Bagaimana tidak,
seorang penjual pisang sampai malam begitu dia keliling kompleks ditemani
anaknya yang sesuai SD itu. "Bapak kalau pagi mangkal di dekat pasar,
selepas ashar beliau keliling komplek pak, untuk menjual sisa dagangya".
timpal anak itu. itu semua dilakukan demi menghidupi dua anak dan sang
istri.
Dengan rasa simpati kami saling bisik-bisik untuk membelinya. karena begitu
terharu saya dan dua orang tetanggaku membeli pisang dengan melebihkan
pembayaran dari harga yang ditawarkanya. Tapi apa yang kami lakukan rupanya
mendapat tanggapan berbeda dari si tukang pisang. "ini pak, kembalianya Rp
seribu." tukas si tukang pisang." sudah buat bapak dan anak bapak saja"
jawab kami serempak tanpa sadar. "maaf pak saya jualan bukan pengemis",
sahutnya. dia mengembalikan semua kelebihan uang kami yang sebenarnya
sengaja kami berikan. kemudian si tukang pisang permisi dan pergi bersama
anaknya menjajakan daganganya sembari menuju pulang ke kampungnya.
Terbetik dalam sanubari kami masing-masing, masih ada orang jujur & mulia di
dunia ini. uang lebih seribu rupiah pun tidak dia terima (karena bukan
haknya) demi harga diri dan prinsip yang begitu luhur, "saya jualan bukan
pengemis pak" dinyatakan oleh seorang tukang pisang yang buta.
Ada dua pelajaran berharga yang kita bisa petik dari kisah tersebut; pertama
seandainya mental itu (tidak rakus pada harta yang bukan haknya) ada
disanubari semua penjabat kita tentu triliunan rupiah uang negara (rakyat)
yang bisa diselamatkan di negeri ini untuk mensejahterakan umat, tidak
terkecuali kita juga tentunya. kedua betapa optimisnya si tukang pisang,
dengan kondisi yang buta dia keliling kompleks sampe larut malam mencari
rejeki, sementara kita orang yang lebih beruntung (mata normal) mungkin
sudah santai nonton tv atau beranjak tidur. semoga kita bisa lebih
mensyukuri nikmat dan anugerah Tuhan kepada kita semua.