Sabtu, 25 Januari 2014

Tentang GUS DUR


Oleh : Saras Dewi

Pada tahun 1999, setahun paska reformasi bergulir, saya berkesempatan berkunjung ke Jalan Irian Menteng bersama kolega/teman-teman pergerakan. Disanalah saya pertama kali bertemu dengan Gus Dur. Saya masih 16 tahun, tapi Ayah saya sudah memberitahu saya sebelumnya bahwa orang yang duduk bersama saya adalah orang yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Sedari muda saya sudah paham, mengapa Gus Dur sangat berarti bagi perubahan di Indonesia.

Pertemuan dengan Gus Dur malam itu merubah hidup saya. Karena beliau saya percaya bahwa Indonesia punya kesempatan untuk menjadi bangsa maju, menjadi bangsa yang kaya akan kultur, budaya, agama dan dapat saling hidup berdampingan. Semasa beliau menjabat menjadi presiden menurut saya hanya kebaikan yang secara maksimal ia berikan, banyak orang mencibir administrasi beliau, tapi untuk saya dialah Presiden yg tepat semasa itu. Ia mengesahkan rekognisi terhadap agama Konghucu, beliaulah yang berani menyatakan bahwa etnis TiongHoa kini dapat berbangga diri menjadi bagian bangsa Indonesia ketika perayaan Imlek dijadikan hari libur nasional. Ia memecat Jend. TNI Wiranto yang memiliki dakwaan pelanggar HAM dari International Human Rights Tribunal. Ia mencabut tentara-tentara dari daerah operasi militer seperti di Aceh dan Irian. Beliau membuka dialog dengan Irian Jaya dan dengan diplomatik mengatakan bahwa mereka bebas menggunakan term 'Papua'.

Gus Dur adalah seorang pemberontak yang humoris, ketika musuh-musuh politiknya memperolok dan mengancamnya, dengan gaya yang berkelas ia hanya mengatakan, "Gitu aja kok repot?"

Gus Dur bukanlah semata-mata seorang tokoh masyarakat yang bijaksana, tapi beliau juga seorang Ayah dan Suami yang sempurna. Saya tahu ini, karena saya menyaksikan bagaimana ia mendidik anak-anaknya. Salah satu putrinya, Inayah Wahid adalah sahabat saya, kami kerap bekerja sama dalam organisasi 'Gerakan Positif' untuk menumbuhkembangkan pluralisme di Indonesia. Saya merasa sangat bersyukur dapat terlibat di dalam kegiatan Wahid Institute, para aktivis Muslim ini memberikan saya harapan, bahwa perdamaian bukanlah konsep belaka, tetapi suatu proses, bila kita berkemauan keras dan tegar dalam mewujudkannya.

Dalam acara ulang tahun Ibu Shinta Nuriyah, istri dari Gus Dur, saya diminta untuk memimpin doa mewakili umat Hindu. Dengan bahagia saya menerima undangan tersebut, saya membacakan Gayatri Mantram dan mendoakan kesehatan dan kebahagiaan Ibu Shinta. Ibu Shinta memuji doa umat Hindu dengan mengatakan bahwa bahasa sansekerta sedemikian indahnya. Saya terharu, karena Gus Dur dan Ibu Shinta begitu menghargai komunikasi antar agama, ini menjadi penyemangat saya.

Ketika FPI mengancam membakar gereja dan melakukan pemberontakan sipil, Gus Dur-lah beserta pemuda NU yang menjaga gereja-gereja tersebut, beliaulah yang berani berkata benar dan bertindak melawan yang dzalim. Saya merasa kehilangan sekali, tetapi saya teringat di dalam kitab suci Veda, meski sekarang saya patah semangat dan menangis, saya teringat Veda yg mengatakan bahwa meski seorang murid berduka atas kematian gurunya, hal yang lebih penting untuk dilakukan adalah meneruskan perjuangan sang guru.

Saya berharap sekali segenap rakyat Indonesia dapat meresapi ajaran Gus Dur dan meneruskan cita-citanya.

"Wa 'Udkhila Al-Ladhīna 'Āmanū Wa `Amilū Aş-Şāliĥāti Jannātin Tajrī Min Taĥtihā Al-'Anhāru Khālidīna Fīhā Bi'idhni Rabbihim Taĥīyatuhum Fīhā Salāmun"

I Love You Full Gus,

yys.


Sumber : facebook

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.