Catatan Kaki Jodhi Yudono
|
Maria Magdalena Rubinem saat berusia 25 tahun/dok pribadi |
|
Ini kali saya hendak bercerita tentang seorang seniman tua. Dia
seorang perempuan yang hanya pernah saya dengar namanya, namun tak
pernah sekali pun berjumpa dengannya. Sekilas saya memang sempat
mendengar suaranya saat saya masih kanak-kanak. Kini, saya hendak
menjumpainya secara langsung. Siapa tahu, saya masih bisa menikmati
sisa-sisa keindahhan suaranya.
Nama lengkapnya Maria Magdalena Rubinem, karena dia terlahir sebagai
seorang Katolik. Tapi sehari-hari dia cukup dipanggil Rubinem saja.
Rubinem,
ya mbah Rubinem, sebab dia memang perempuan Jawa yang kini sudah 88
usianya. Rubinem, menurut KTPnya lahir di Yogyakarta pada tahun 1927.
Namun menurut pengakuan perempuan sepuh itu, sebetulnya dia lahir pada
tahun 1925.
Saya menemuinya pada malam hari, ketika warung yang
sekaligus dijadikan sebagai tempat tinggalnya telah tutup. Mbah Rubinem
hanya menyisakan pintu warungnya terbuka setengah untuk menunjukkan
penghuninya belum berangkat tidur.
Malam itu saya memang bermaksud
menemuinya, sekedar ingin "sowan" sebagai rasa hormat saya kepada
beliau yang telah berjasa di dunia seni Indonesia. Setidaknya, dia
pernah menghibur banyak orang melalui keindahan suaranya.
Rubinem.
Ya, dialah pesinden yang cukup kondang di Yogyakarta dan sekitarnya
antara tahun 1948 hingga awal 80an. Maklumlah, sebab antara tahun 1948
sampai tahun 1972 Rubinem menjadi pesinden Radio Republik Indonesia
(RRI) Yogyakarta.
Ketika saya datang, Mbah Rubinem langsung
menyalami saya dengan hangat. Lalu katanya, saya tak boleh melakukan
apapun selain makan malam terlebih dahulu untuk mencicipi gudegnya. "
Sampun kulo siapke,
monggo dahar rumiyin," kata Rubinem dalam bahasa Jawa halus yang artinya, 'sudah saya siapkan, silakan makan dahulu.'
Saya
pun dengan hikmat menikmati gudeg olahan Mbah Rubinem yang garing dan
hitam kecoklatan. Di piring yang saya pegang, Rubinem menambahkan
krecek, areh, daging ayam, dan semur telur ayam. Hmmm... rasanya nikmat,
perpaduan antara manis dan pedas menimbulkan sensasi yang ramai di
mulut.
"
Kados pundi rasanipun?" Mbah Rubinem bertanya, bagaimana rasa gudegnya.
Saya pun mengacungkan ibu jari sebagai pertanda masakan Rubinem lezat.
Sehabis makan malam, saya pun mulai bertanya berbagai hal, terutama perjalanan dan pengalaman hidup Mbah Rubinem.
***
Rubinem
belajar nyinden dari para seniman di Keraton Yogyakarta, di antaranya
eyangnya seniman Djadug, diakui rubinem sebagai gurunya. Setelah itu, ia
terjun langsung manggung sejak 1942. Meski tak sekolah, ia bisa membaca
dan menulis. Akhirnya, ia bekerja di RRI Yogyakarta pada 1948, seusai
agresi kedua Belanda. “Saya menjadi pemain apa pun pada acara yang
berbau budaya Jawa, entah dagelan, ketoprak, uyon-uyon, dan wayang,”
tutur Rubinem.
Sejak menjadi pesinden tetap di RRI Yogyakarta
itulah, nama dan suara Rubinem mulai dikenal luas. Lantunan suaranya
kian mantap. Akhirnya, sebulan sekali, ia dipercaya pentas di RRI
Jakarta. Rubinem pun manggung berkali-kali di Istana Negara, sejak 1951,
di hadapan Presiden Soekarno.
Karena kepopulerannya itulah,
Rubinem pun melanglang ke berbagai kota di Pulau Jawa, seperti Jakarta,
Bandung, Surabaya, Semarang, hingga Banyuwangi. Bagi Rubinem, tahun
1960-an merupakan zaman keemasannya. Sebulan ia bisa mendapatkan
tanggapan sampai 40 kali.
“Kulo nate angsal honor Rp 500 ribu.
Meniko honor ingkang inggil wekdal samanten," tutur Rubinem yang
artinya, dirinya pernah mendapat honor Rp 500 ribu, dan itu merupakan
honor yang sangat tinggi untuk sinden pada saat itu.
Dari hasil
manggung, ia memiliki dua rumah, beberapa petak tanah, mobil,
emas-berlian, dan seperangkat gamelan. Tak ada waktu untuk diam. Malam
manggung, siang hari ia masih mempunyai kesibukan untuk menjadi pedagang
emas-berlian di Pasar Beringharjo, Yogyakarta.
Setelah mengalami
banyak kesulitan dalam perkawinan, akhirnya ia menikah dengan Agustinus
Subardi, duda berputera satu. Rupanya bahtera rumah tangga Rubinem
menjumpai banyak gelombang. Berbagai persoalan melanda kehidupan
pribadinya. Akhirnya, ia memilih menjanda. Karena tidak punya keturunan,
Rubinem mengangkat tiga anak yang semua dididiknya sampai mandiri dalam
berumah tangga.
Jika kini Rubinem membuka warung nasi gudeg di
kompleks Terminal Jombor, Sleman, awalnya hanyalah sekadar untuk pengisi
kesibukan. Hartanya sebagai mantan sinden kondang masih cukup untuk
menghidupi diri, yakni berupa dua rumah dan sepetak tanah yang
dikontrakkan, serta satu mobil untuk disewakan.
Sayangnya,
perjalanan dan perjuangan hidup Rubinem harus mulai dari awal lagi. Pada
2008, meski atas persetujuannya, anak menantunya menjual seluruh
harta-bendanya dan laku Rp 270 juta, untuk investasi di sebuah
perusahaan. Ternyata, investasi itu tipu-muslihat belaka.
“Saya
bisa stres jika memikirkan itu kembali. Justru dari peristiwa itu, saya
semakin mendekatkan diri pada Tuhan, untuk merenungkan perjalanan hidup
saya. Akhirnya, saya mendapatkan kepasrahan. Harta saya habis, karena
itu bukan rezeki saya. Saya menumpuk harta, selain hasil manggung, juga
menjadi rentenir saat menjadi pedagang emas dulu,” akunya.
Baginya,
tahun 2008 merupakan tahun petaka sekaligus penghiburan. Tahun itu
hartanya habis, namun imbalannya, ia mendapatkan penghargaan dari
Persatuan Dalang Indonesia (Pepadi) Pusat Jakarta. Ia menerima
penghargaan Anindya Karya Waranggana. Pepadi bekerjasama
dengan
Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian Jakarta memberikan penghargaan
kepada Rubinem atas pengabdian dan kesetiaannya melestarikan kesenian
tradisi.
Di kios berukuran 21 m2, Rubinem menjalani kehidupannya
dalam keikhlasan. Di tempat itu, dia hidup bersama salah seorang anaknya
dan seorang cucunya.
“Cucu saya itu sudah besar, dan syukurlah, suka bantu-bantu di warung di sela-sela kesibukan kuliahnya.
Sebisa mungkin, saya akan membiayai kuliahnya,” tekad Rubinem.
Hari-harinya
kini banya diisi dengan memasak gudeg untuk para pelanggannya yang
sudah ketagihan masakan gudegnya yang kering dan gurih. Bicara soal
pelanggan, Rubinem punya pengalaman buruk dengan salah satu
pelanggannya.
Ini bermula seusai dirinya mendapat penghargaan seni dari Persatuan Dalang Indonesia (Pepadi) Pusat Jakarta
pada
tahun 2008. Ia beroleh hadiah berupa uang senilai Rp 10 juta. Namun
setelah dikurangi pajak dan lain-lain, ia membawa pulang uang Rp 8 juta.
Sebagian uang yang diperoleh dari penghargaan tersebut dibelikan
sepasang giwang berlian. Rubinem dengan senang mengenakan giwang
tersebut di warung. Namun diam-diam, seorang perempuan yang juga
pelanggannya tertarik untuk memiliki giwang yang dikenakan Rubinem.
Pada
suatu hari, saat warung sepi, perempuan jahat itu pun masuk ke warung
Rubinem. Begitu dilihatnya sang pesinden sedang sendiri, ditubruknya
perempuan itu seraya memaksanya untuk menyerahkan giwang yang pernah
dilihatnya. Rubinem yang segera menyadari dirinya hendak dirampok,
segera berteriak minta tolong. Perempuan perampok yang sudah berhasil
menelikung dan memukuli Rubinem itu pun segera lari.
Rubinem ya
Maria Magdalena Rubinem. Kontras benar kehidupannya antara dahulu dan
kini. dulu nama Rubinem terkenal tak terkira di sekitar Yogyakarta. Dia
bukan saja sinden yang memiliki suara dan cengkok yang menarik, tapi
juga memiliki tubuh dan wajah yang aduhai. itulah sebabnya, tak heran
jika dirinya dipuja oleh para lelaki yang menggemari sosoknya.
"Tapi
saya bukan perempuan gampangan. Saya susah ditemui oleh penggemar saya,
sebab saya nggak pernah mau dijemput oleh pengundang. lebih baik saya
datang dan pulang sendiri untuk menghindari fitnah," ujar Rubinem.
Rubinem
tidak pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Termasuk harta benda
yang pernah dikumpulkan di kala muda dan kini telah habis. Dia juga tak
menyesali bahwa kini dirinya tak lagi popular, dan bahkan tak dikenal.
Jika
ada yang dia sayangkan, adalah karena RRI, institusi tempatnya pernah
bekerja juga ikut-ikutan melupakan dirinya. Padahal, Rubinem ingin benar
datang kembali ke RRI, sekedar untuk mengenang bahwa dirinya pernah
menjadi saksi perjalanan radio milik pemerintah itu.
“Saya
berharap mereka masih ingat saya, saya ingin kalau RRI ulang tahun saya
diundang. Tapi, sejak saya keluar di tahun 1972 sampai sekarang, saya
belum pernah diundang. Saya suka sedih kalau mengingat ini.”
sumber ; tribunnews.com