BELUM sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam
tinggi. Setelah tiga hari tak ada perbaikan aku membawanya ke huisart
(dokter keluarga) kami, dr. Knol.
“Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection,” kata dokter tua itu.
“Ha? Just wait and see?” batinku meradang.
Ya, aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus
demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain.
“Obat penurun panas Dok?” tanyaku lagi.
“Actually that is not necessary if the fever below 40 C.”
Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi
aku ingin dokter itu memberi obat lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter
di sini pelit obat. Karena itu, aku membawa obat dari Indonesia.
Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi
muntahnya bertambah. Aku kembali ke dokter. Dia tetap menyuruhku wait
and see. Pemeriksaan laboratorium akan dilakukan bila panas anakku
menetap hingga hari ke tujuh.
“Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok,” kataku.
Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. “Apakah dia sudah minum suatu obat?”
Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,
“Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah.
Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya
bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol
saja.”
Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku
jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran
tau!
Setibanya di rumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku.
“Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak
pake diukur suhunya. Mau 37, 38 apa 39 derajat, tiap ke dokter dan
bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Masa dia
bilang ibuprofen nggak baik buat anak!”
Sewaktu praktik menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek yang
dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang
membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi secuil-secuil ilmu
kudapat. Seperti orang travelling Eropa dalam dua minggu. Menclok
sebentar di Paris, dua hari ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian
tiga hari mengunjungi Vienna. Puas berdiam di Berlin dan Swiss, waktu
habis. Tibalah saat pulang ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah
keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama. Banyak
negara dan kota di Eropa belum disambangi. Itulah kami, pemuda-pemudi
fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah yang kami
pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek
sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng, kami mengintip
resep ajian senior!
Setelah Malik sembuh, Lala, putri pertamaku sakit. Kuberikan obat
batuk yang kubawa dari Indonesia. Batuknya tak hilang dan ingusnya masih
meler. Lima hari kemudian, Lala kubawa ke huisart.
“Just drink a lot,” katanya ringan.
“Apa nggak perlu dikasih antibiotik, Dok?” tanyaku tak puas.
“This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik,” jawabnya lagi.
Lalu ngapain dong aku ke dokter,tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq!
“Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak.”
Ternyata isi obat Thyme itu hanya ekstrak daun thyme dan madu.
Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan
internet. Di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di
Indonesia.
Putriku sembuh. Sebulan kemudian sakit lagi. Batuk pilek putriku kali
ini ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali
memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu
ia sakit.
“Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya?”
Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat
tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab,”Nothing to worry.
Just a viral infection.”
“Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok,”
Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. “Do you know how many times normally children get sick every year?”
“Twelve time in a year, researcher said,” katanya sambil tersenyum
lebar. “Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak
terlalu berat,” sambungnya.
Aku pulang dengan perasaan malu. Barangkali si dokter benar, aku selama ini kurang belajar.
Setelah aku beradaptasi dengan kehidupan di Belanda, aku berinteraksi
dengan internet. Aku menemukan artikel Prof. Iwan Darmansjah, ahli
obat-obatan Fakultas Kedokteran UI.
“Batuk – pilek beserta demam yang terjadi 6 – 12 bulan masih wajar.
Observasi menunjukkan kunjungan ke dokter terjadi 2 – 3 minggu selama
bertahun-tahun.”
“Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan
penanganannya, Pertama, obat diberikan selalu mengandung antibiotik.
Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh
virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak,
antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga
keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga
mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya
anak jatuh sakit setiap 2 – 3 minggu dan perlu berobat lagi.
Duuh…kemana saja aku selama ini. Eh..sebetulnya..bukan salahku dong.
Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi,
mereka itu dosenku lho!.
Di Belanda ‘dipaksa’ tak pernah mendapat antibiotik untuk penyakit
khas anak-anak, kondisi anakku jauh lebih baik. Mereka jarang sakit.
Aku tercenung mengingat ‘pengobatan rasional’. Hey! Lalu kemana
perginya ingatan itu? Jadi, apa yg kulakukan, tidak meneliti baik-baik
obat yang kuberikan, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas,
sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak
mengalami sakit ringan aku panik dan membawa ke dokter, sedikit-sedikit
memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak
rasional!
Sistem kesehatan Belanda menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.
Aku baru mengetahui ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam
pada anak, sehingga banyak negara termasuk Amerika Serikat, dipakai
secara luas untuk anak-anak. Tetapi resiko efek sampingnya lebih besar,
Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen
tersedia di apotek dan boleh digunakan usia anak diatas 6 bulan, di
kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan
pertama anak demam.
Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin
berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau
orang-orang yang terpinggirkan. Karena kekurangan dan ketidakmampuan
penyakit anak sehari-hari, orang desa relatif ‘terlindungi’ dari paparan
obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar,
cukup berduit, melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan
selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat
dan media. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita
malah ngomel-ngomel, ‘memaksa’ agar si dokter memberikan obat.
Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang
dokter-dokter ‘menjual’ obat tertentu melalui media. Padahal mestinya
dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.
Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku
yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada
pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun
melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar
dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak,
anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi
bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi
antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?
Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang
sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai
orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran
ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau
aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini.
Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki
anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya?
Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak
tahu, sungguh!
Aku sadar. Telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di
Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari
dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya ‘hanya’ konsultasi,
memastikan diagnosa penyakit dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan
diriku bahwa anakku baik-baik saja.
Di Indonesia, ke dokter = dapat obat?
Sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat
nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘
tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun
bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi.
Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Percuma mencari-cari ujung
pangkal salahnya. Kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang
harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan,
perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti
ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat
sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Sebagai pasien kita pun tak
bisa tinggal diam. Setidaknya, bila pasien ‘bergerak’, masalah kesehatan
di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan
kesalahan medis tentu bisa diturunkan. []
Dikutip dari buku “Smart Patient” karya dr. Agnes Tri Harjaningrum,